Gangguan Mental di Indonesia: Berjuang di Tengah Stigma, Sulitnya Akses Bantuan, dan Krisis Empati

 

oleh: Zain Nurmasupi, Peserta Didik SMAN 34 Jakarta

“To live is to suffer, to survive is to find some meaning in the suffering.”- Friedrich Nietzsche


Trigger Warning: Tulisan ini mengandung konten yang cukup sensitif dan dapat mentrigger beberapa orang karena akan membahas seputar gangguan kesehatan mental, bunuh diri, dan hal lainnya.


    Masalah kesehatan mental menjadi perbincangan akhir-akhir ini. Mulai dari pemberitaan di media mainstream, kampanye di media sosial, lagu, film, hingga pop culture lainnya banyak yang mengangkat masalah ini. Bahkan saat ini, banyak selebriti, public figure, maupun influencer yang cukup vokal tentang hal ini. Ini merupakan hal yang baik karena kesadaran terhadap kesehatan mental semakin hari semakin meningkat. Namun, seperti pisau bermata dua, hal ini juga menimbulkan masalah baru, yaitu perilaku self diagnose.


Pada tahun 2019 silam, publik dihebohkan dengan sebuah film besutan DC yang mengangkat tema ini, yaitu Joker. Film yang menceritakan tentang kisah Arthur Fleck, seorang badut yang mengalami gangguan mental ini mendulang popularitas dan apresiasi yang sangat tinggi di kalangan masyarakat. Banyak yang beranggapan bahwa film ini merepresentasikan kesehatan mental dan membuka diskusi tentang topik ini. Terlebih film ini, menggambarkan kondisi kesehatan mental dengan sangat gamblang, dalam, dan cenderung gelap ditambah dengan akting Joaquin Phoenix yang sangat memukau seakan-akan film ini menguliti realita pahit para penderita gangguan mental di masyarakat.


Namun, banyak pula yang beranggapan bahwa, film ini membawa miskonsepsi terhadap gangguan mental dan membuat romantisasi toxic terhadap hal tersebut. Terlepas dari pro dan kontra yang ada, terdapat efek yang tidak dapat kita hiraukan dari adanya film ini, yaitu banyak orang yang melakukan self diagnose setelah menonton film ini. Masyarakat yang latah dan minim informasi terhadap kesehatan mental merasa relate dengan karakter Joker, lalu langsung mengklaim dirinya sebagai penderita gangguan mental tanpa melakukan pemeriksaan dengan psikolog ataupun psikiater terlebih dahulu. Gangguan mental seolah-olah menjadi tren yang dapat dibangga-banggakan. Orang-orang justru menganggap gangguan mental sebagai sesuatu yang ‘edgy’. Hal ini justru memperburuk isu kesehatan mental itu sendiri. Self diagnose juga membawa efek buruk yang sangat serius, salah satunya adalah misdiagnosis.


Gejala gangguan mental seringkali sulit dibedakan antar satu sama lain. Gejala gangguan mental seringkali juga mirip dengan gejala penyakit fisik. Diagnosis yang salah akan menyebabkan penanganan yang keliru dan berujung fatal. Self diagnose juga seperti menjatuhkan diri sendiri ke dalam jurang. Kita bisa menganggap keadaan diri kita sendiri sangat buruk. Padahal, kenyataannya tidak seburuk itu. Menganggap depresi, padahal hanya sedih biasa. Menganggap bipolar, padahal hanya perubahan mood yang normal. Pada dasarnya, untuk menentukan diagnosis yang tepat perlu pergi ke profesional dan menjalani serangkaian tes yang panjang. Bahkan, psikolog maupun psikiater pun mampu melakukan kesalahan diagnosis karena begitu kompleksnya masalah kesehatan mental itu. Maka dari itu, penderita gangguan mental memerlukan proses penanganan yang begitu lama hingga berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Diagnosisnya pun bisa berubah-ubah seiring waktu.


Sebenarnya, banyak faktor yang menyebabkan orang melakukan self diagnose. Salah satunya, adalah kurangnya akses untuk mendapatkan layanan kesehatan mental. Pergi ke profesional kesehatan mental masih dianggap sebagai sebuah privilege karena biayanya yang tidak sedikit. Layanan kesehatan mental hanya dapat dijangkau oleh beberapa kalangan saja. Walaupun, konsultasi ke profesional dapat dilakukan gratis menggunakan BPJS, namun, pelayanannya masih belum maksimal dan belum merata di semua daerah.


Proses untuk meminta rujukan ke psikiater sangatlah rumit dan melelahkan. Orang yang ingin mencari bantuan karena sudah tidak kuat dengan masalahnya malah dibuat makin runyam dengan prosedur yang merepotkan. Petugas kesehatan yang melayani pasien juga kurang mendapatkan edukasi mengenai kesehatan mental terlihat dari betapa judgemental-nya mereka saat menanggapi cerita pasien.


Jumlah tenaga kesehatan mental yang ada masih berbanding jauh dengan jumlah pasien dengan masalah kesehatan mental. Menurut catatan Ikatan Psikologi Klinis (IPK) Indonesia, pihaknya telah memastikan ada 1.143 psikolog klinis yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia per 5 Mei 2019. Sementara di seluruh Indonesia, hanya ada 600 hingga 800 psikiater. Berarti, satu psikiater melayani 300 ribu hingga 400 ribu orang. Belum lagi adanya stigma masyarakat sekitar yang ikut menghambat orang mendapatkan bantuan profesional. Orang yang pergi ke psikolog atau psikiater dianggap gila, aneh, kurang bersyukur, bahkan tidak punya Tuhan. Tidak jarang orang yang pergi mencari bantuan profesional dianggap lemah dan terlalu berlebihan.


Berbicara mengenai stigma masyarakat, ada banyak sekali stigma dan mitos yang dilontarkan terhadap penderita gangguan mental di Indonesia. Contohnya, penderita gangguan mental dianggap diguna-guna atau dirasuki roh jahat, sehingga keluarga lebih memilih membawanya ke paranormal dibandingkan ke tenaga kesehatan mental. Contoh lainnya yaitu, penderita depresi dianggap kurang beribadah dan jauh dari Tuhan. Padahal, depresi dan ibadah adalah dua hal yang berlainan. Depresi tidak pandang bulu, semua orang apapun latar belakangnya bisa mengalami depresi.

 

Tidak ada jaminan bahwa orang yang religius akan terhindar dari depresi dan gangguan mental lainnya. Depresi dan gangguan mental lainnya merupakan penyakit medis nyata yang bisa dipengaruhi oleh faktor biologis seperti kekurangan beberapa zat kimia dalam otak. Oleh karena itu, beberapa kondisi gangguan mental mengharuskan penderitanya untuk mengonsumsi obat-obatan yang diresepkan oleh psikiater.


Namun, mitos yang berkembang di masyarakat malah menghambat kesembuhan para penderita gangguan mental dengan melarangnya mengonsumsi obat-obatan. Obat-obatan dianggap dapat membuat ketergantungan dan bisa membahayakan organ tubuh lainnya. Padahal, dokter tidak belajar bertahun-tahun hanya untuk merusak tubuh seseorang atau membuat mereka kecanduan. Dokter telah meresepkan dengan tepat dan penuh perhitungan. Penderita gangguan mental juga dilarang keras berhenti mengonsumsi obat-obatan tanpa instruksi dari dokter karena bisa menimbulkan kekambuhan bahkan komplikasi lain yang jauh lebih berbahaya. Barangkali, yang lebih mematikan dari gangguan mental adalah stigma dan mitos yang ada.


Ada satu hal yang tidak bisa kita lewatkan ketika berbicara mengenai masalah kesehatan mental, yaitu risiko bunuh diri. Menurut data statistik, angka bunuh diri di Indonesia menunjukkan peningkatan pada tahun 2012, yaitu sekitar 10.000 per tahun. Sedangkan, berdasarkan data World Federation of Mental Health (WFMH), setiap 40 detik seseorang di suatu tempat di dunia meninggal akibat bunuh diri. Masih banyak sekali stigmatisasi terhadap pelaku bunuh diri maupun percobaan bunuh diri. Banyak orang yang menganggap pelaku bunuh diri adalah orang yang pengecut, lemah, bodoh, dan jauh dari Tuhan.


Alih-alih dibantu, orang yang berpikiran untuk bunuh diri malah mendapat penghakiman yang sangat menyakitkan. Padahal, masalah bunuh diri merupakan masalah yang sangat kompleks dan melibatkan beberapa faktor penyebab seperti psikologis, biologis, genetik, sosial, maupun lingkungan. Faktor psikologis masih menjadi faktor penyebab utama dari kasus bunuh diri. Walau tidak selalu berkaitan dengan gangguan mental, gangguan mental yang dialami membuat risiko bunuh diri menjadi berkali-kali lipat lebih tinggi.


Lalu, bagaimana sikap pemerintah Indonesia terhadap masalah ini? Awalnya, pemerintah tampak berbaik hati dengan menyediakan layanan konseling gratis melalui telepon. Kemenkes mempunyai layanan konseling bernama SEJIWA atau Layanan Sehat Jiwa yang dapat dihubungi dengan menekan 119 ext 8. Tapi sayangnya, layanan tersebut masih belum berfungsi secara efektif terdengar dari pengalaman beberapa orang yang tidak mendapat pelayanan yang memuaskan dari operatornya. Terkadang pula, operator sama sekali tidak menanggapi cerita dari penelpon.

 

Dahulu, Kemenkes membuat layanan hotline bunuh diri dengan menghubungi 1-500-454. Namun sialnya, layanan tersebut telah dinonaktifkan sejak 2014. Untuk saat ini, tidak ada hotline darurat resmi untuk pertolongan bunuh diri di Indonesia. Kenyataanya, layanan hotline bunuh diri sangat diperlukan untuk mendapatkan bantuan segera agar orang tersebut dapat menggagalkan upayanya.


Perasaan kesepian yang begitu menusuk dan kesedihan yang sangat amat menyesakkan membuat orang melakukan tindakan bunuh diri karena merasa tidak ada jalan keluar lain lagi untuk menghilangkan rasa sakitnya. Menderita depresi rasanya seperti tenggelam perlahan-lahan dan orang lain hanya melihat, menganggap baik-baik saja tanpa menyadari bahwa kita lamat-lamat telah tenggelam. Beberapa orang beruntung memiliki orang yang dapat mereka percaya untuk berbagi bebannya.

 

Namun, beberapa lagi tidak memilikinya, alih-alih bercerita, mereka malah memilih cara berbahaya untuk mengalihkan rasa sakit mereka, di antaranya dengan menyakiti diri sendiri. Penderita gangguan mental dan penyintas bunuh diri hanya memerlukan pikiran terbuka dan penuh kepedulian, hati yang penuh empati, dan telinga yang mau mendengarkan. Kita bisa mengatasi masalah itu semua dengan kesadaran bersama dan kerjasama antar semua pihak. Semoga semakin banyak orang yang mau peduli dan berempati.

Gangguan Mental di Indonesia: Berjuang di Tengah Stigma, Sulitnya Akses Bantuan, dan Krisis Empati