Seputar Perempuan Dalam Pusara Kekerasan

   sumber: ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman

oleh: Azriel Putra Januar

     Dalam kehidupan bernegara, menjalin sebuah keterikatan sosial dan emosional merupakan sesuatu yang wajib, demi adanya pelbagai tujuan yang ingin dicapai. Salah satu tujuannya, adalah untuk menggapai keharmonisan dan kedamaian dalam ruang lingkup kehidupan warga negara. Adanya sebuah perbedaan dari masing-masing individu manusia, akan mengakibatkan suatu dampak. Entah dampak tersebut dapat dikatakan sebagai anugerah terindah yang diberikan oleh Tuhan, ataupun bisa jadi bom bagi sebuah negara. Nah, cara bagaimana suatu negara dalam mengatasi perbedaan yang ada, itu sangat penting.

       

Keberagaman yang ada bisa menjadi sebuah keuntungan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara, diperlukannya sebuah revolusi mental, yang salah satu sumbernya yaitu keluarga. Dari sebuah keluarga akan melahirkan generasi pemimpin bangsa yang akan menciptakan sebuah negara menjadi tumbuh dan berkembang. Namun, dari keluarga jugalah, diskriminasi terhadap perempuan sering sekali terjadi. Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga masih menjadi suatu persoalan hukum dari pelbagai negara. Tentunya, menjadi salah satu masalah yang berat bagi tugas pemimpin negara. Sebab, fenomena tindak Kekerasan Rumah Tangga telah menunjukkan bahwa negara telah gagal untuk melindungi para korban.


Pastinya, setiap perempuan memiliki jalan berbeda dalam menyuarakan kepentingan perempuan. Meski Indeks Pemberdayaan Gender Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, namun fakta kesenjangan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia masih tetap tinggi.


Selain itu, banjirnya stigma terhadap perempuan seolah-olah tidak bisa dibendung: perempuan membutuhkan penghormatan dari laki-laki, menilai perempuan dari  penampilannya saja tanpa keseluruhan subyek yang berada di dalam dirinya, semua potensi hanya berada di tangan laki-laki, perempuan tidak. Konstruksi gender mengenai pembagian peran, ciri, sifat, fungsi, perilaku, atribut, dan posisi membuat perempuan mengalami situasi penindasan dan eksploitatif.


Laki-laki dan perempuan memang berbeda secara biologis. Tetapi, perempuan memiliki keistimewaan tersendiri. Namun, keistimewaan ini tidak dijadikan suatu penghargaan yang diakui dan dipenuhi laki-laki. Hal ini dibuktikan dengan fakta kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat, dan yang paling tinggi berasal dari keluarga. Hanya korban yang mencoba memberanikan diri dan melawan masa traumatiknya yang melaporkan kejadian kekerasan. Sedangkan, yang tidak melaporkan karena terlalu sulit menghadapi masa traumatiknya, tidak dapat terdeteksi, sehingga diyakini kalau kekerasan terhadap perempuan, melampaui dari jumlah data yang terekam. Inilah alasan mengapa negara wajib hadir dan perlu adanya perlindungan terhadap perempuan, baik dalam ranah hukum atau haknya sebagai korban, dan merehabilitasi psikis dan material seluruhnya dari para korban.


Salah satu hal yang membuat korban enggan untuk bersuara dan tidak melaporkan adalah karena adanya stigma yang melekat pada korban. Menurut pandangan masyarakat, para korban merupakan akibat dari kesalahan diri mereka sendiri. Sialnya, ini diperparah dengan banyaknya ucapan dan komentar yang mereka keluarkan untuk merendahkan korban, sehingga membuat kondisi korban semakin memburuk dan terpuruk. Tidak pernah dan tidak akan pernah ada alasan yang benar untuk kekerasan terhadap perempuan!


Perempuan memiliki keterbatasan ruang yang didominasi oleh laki-laki. Perempuan perlu bergandengan tangan, bukan untuk saling menjatuhkan. Perjuangan perempuan untuk mendapatkan kebebasan, pengakuan, penghormatan, kesetaraan bukanlah milik salah seorang feminis ataupun milik sebuah organisasi, melainkan upaya kolektif semua orang yang peduli terhadap hak asasi manusia.


Perempuan tidak menuntut kesetaraan kondisi alamiah (melahirkan, menyusui) karena suatu hal yang tidak bisa diubah. Namun, menuntut penghapusan konstruksi sosial (lemah, lembut, butuh perlindungan laki-laki, dsb) yang mengakibatkan adanya segregasi sosial, politik, ekonomi, budaya yang berangkat dari perspektif gender, dan itu didominasi oleh laki-laki.


Semua orang baik laki-laki ataupun perempuan berhak mendapatkan, menjalankan, dan melakukan apa yang mereka inginkan, apa yang mereka mau, dan apa yang mereka cintai. Semua manusia, baik laki-laki ataupun perempuan pasti memiliki sesuatu yang mereka sukai terhadap satu hal, dan dari hal itu mereka akan terus terdorong untuk belajar hingga akhirnya mereka melakukan kegiatan tersebut secara berulang-ulang hingga mahir. Saya menganalogikan pembatasan atau kegagalan sesuatu karena gender: dengan kita saat masih kecil, menaiki sebuah perosotan yang tinggi dan membuat kita bahagia, tiba-tiba disuruh berhenti di tengah-tengah perosotan, dan ditahan. Rasanya, seperti itu tidak enak dan tentunya sangat sakit. Bila kita ingin melakukan hal yang diminati, dan melakukan pekerjaan yang kita inginkan tapi dibatasi, dan digagalkan oleh alasan GENDER. Posisi perempuan seperti berada di tengah-tengah perosotan, dan yang pastinya yang menjadi kemudi adalah patriarki!


Di sini, kesetaraan gender berarti kedudukan antara perempuan dan laki-laki. Keduanya boleh dan bisa banget melakukan apapun sesuai bidang dan dan kemampuannya, bahkan keduanya pantas untuk mendapatkan haknya masing-masing. Kesetaraan mungkin akan terdengar sederhana ketika dibicarakan, namun kenyataanya sulit untuk dicapai. Sangat penting adanya kesadaran mengenai kesetaraan gender itu sendiri. Karena gender juga berdampak pada kehidupan bernegara mulai dari kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.


Pada saat ini, memang betul adanya kapasitas dan kapabilitas perempuan terhadap ruang politik di Indonesia. Namun, angka persentase keterlibatan aktif perempuan masih minim. Untuk itu, dibutuhkan aksi dan kebijakan yang substansif untuk memastikan keterlibatan aktif perempuan dalam mememgaruhi proses pembuatan, dan kebijakan penciptaan lingkungan yang aman dan ramah terhadap perempuan.


Seperti halnya pada Kementrian Pertahanan di Indonesia, banyaknya perempuan menjadi bagian dari tentara. Pencarian calon-calon tentara perempuan menjadi bagian dari semangat memajukan para perempuan di berbagai bidang. Secara perlahan, perspektif sosial mengenai perempuan itu lemah mulai berkurang bukan terhapuskan. Serta adanya profesi yang sudah membaur, misalnya para lelaki yang sudah menjadi juru masak. Namun, dalam sebuah pekerjaan masih adanya ketimpangan upah yang berdasarkan gender,  serta adanya pengambilan keputusan yang umumnya di lakukan oleh laki-laki.


Perlu diingat!

Kesetaraan gender jangan diartikan bahwa “kedudukan perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki”. Kehidupan bukan sebagai ajang tanding, jangan mengartikan kesetaraan gender sebagai I don’t need somebody else. Antara keduanya, sama-sama saling membutuhkan sebagai makhluk sosial.


Di tengah pandemi Covid-19, menurut data Asosiasi LBH APIK, bahwa sebagian besar perempuan mengaku mengalami KDRT sejak berlakunya kebijakan Kerja dari Rumah. Tentunya, peningkatan kasus kekerasan secara signifikan di tengah pandemi Covid-19 bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan dihadapi juga oleh organisasi-organisasi perempuan internasional. Kekerasan yang diatur dalam undang-undang yang ada masih terdapat kekosongan perlindungan hukum bagi korban. Indonesia memerlukan landasan hukum komprehensif dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan khususnya yang berpihak pada korban. Hal ini dikarenakan angka kekerasan terhadap perempuan terus meningkat dari tahun ke tahun.


Di tengah pandemi, perhatian masyarakat dan pemerintah saat ini terfokuskan pada cara bertahan hidup serta cara memutuskan rantai penyebaran Covid-19. Sehingga masalah kekerasan terhadap perempuan belum menjadi perhatian yang utama dan serius bagi pihak-pihak berwenang.


Menurut Jeny Beck, seorang pengacara dan pemerhati isu perempuan dari Inggris, menghawatirkan bahwa “para perempuan akan mati” karena terpenjara di rumahnya sendiri dan tidak bisa menyelamatkan diri dari kekerasan yang dialaminya. (theglobeandmail.com)


Kebijakan Kerja dari Rumah membawa dampak yang berbeda diantara perempuan dan lak-laki. Sebenarnya, lebih berdampak pada perempuan karena adanya ketimpangan peran gender. Kondisi ini memberi beban tambahan terhadap perempuan, tidak lain tidak bukan karena budaya patriaki. Di mana sejak berabad lamanya, menempatkan perempuan di lingkup domestiK semata: mengerjakan kerja reproduksi, melahirkan, mengurus anak, dan rumah tangga. Sedangkan lak-laki mengerjakan kerja produksi, di lingkup publik, dan mencari nafkah sehingga mobilitasnya cenderung lebih tinggi dibandingkan perempuan. Tetapi, pandemi memberika perubahan yang signifikan terhadap waktu para perempuan karena adanya kebijakan kerja dari rumah mengharuskan perempuan mengerjakan kantor, membantu pekerjaan sekolah anak, dan sambil tetap mengerjakan tugas rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan sebagainya. Dikotomi kerja publik dan domestik menjadi lebur karena semua pekerjaan saat ini harus dilakukan di ruang domestik yang berdampak pada penambahan beban fisik dan emosional bagi perempuan.


Kebijakan Kerja dari Rumah menempatkan banyak keluarga pada situasi yang sangat menekan perasaan dan pikiran. Kehilangan pekerjaan dan berkurangnya ruang lingkup pribadi menambah tekanan interpersonal anggota keluarga dalam suatu rumah. Sehingga kebijakan ini menimbulkan kesulitan dan ketidak nyamanan bagi sebagian perempuan.


Krisis yang terjadi akibat pandemic Covid-19 membawa perubahan yang berkonsekuensi pada keberlangsungan gerakan untuk mencapai kesetaraan gender. Konstruksi budaya yang mendefiniskan laki-laki sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga, berkonsekuensi terjadinya diskriminasi. Sehingga, perempuan rentan kehilangan pekerjaan di masa pandemi seperti ini. Di sisi lain, perempuan terhambat aksesnya untuk mendapat bantuan sosial karena sistem pendataan yang tidak inklusif dan tidak berperspektif gender.


Cara pandang dan kebijakan tidak berperspektif gender berakibat fatal pada perekonomian Indonesia, karena Indonesia bergantung pada ekonomi careworkers. Konstruksi budaya yang mendefiniskan pada terjadinya diskriminasi di pasar, tenaga kerja dan tempat kerja.


Meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan menunjukan bahwa:


Rumah menjadi tempat yang tidak nyaman bagi perempuan pada saat pandemi saat ini. Di sisi lain, pemerintah mengharuskan kita untuk tetap di rumah.


Perempuan dipandang menjadi pihak yang pantas disalahkan dan menjadi pelampiasan amarah.


Budaya patriarki yang menempatkan perempuan menjadi pihak sub-ordinat.


Pengawetan budaya patriaki yang menyebarkan mitos, stereotipe, dan praktik yang merendahkan perempuan yang menjadikan perempuan menjadi rentan terhadap korban kekerasan.


Kemudian, yang menjadi persoalan adanya perkawinan anak. Secara global, pada pandemi Covid-19 menyebabkan kasus perkawinan anak meningkat salah satu penyebabnya adalah ekonomi. Indonesia berada pada urutan ke 7 dengan jumlah perkawinan anak tertinggi di dunia. (PUSKAPA). Adanya juga faktor norma sosial yang menguatkan stereotype gender tertentu (misalnya, perempuan seharusnya menikah muda). Pemahaman inilah yang bisa menyebabkan adanya KDRT karena belum adanya pemikiran yang terbuka.


Perkawinan anak dipahami sebagai saluran yang mengarah pada berbagai bentuk kekerasan seksual terhadap anak seperti perdagangan manusia. Menjadi hal yang problematis ketika menggambarkan perempuan sebagai pihak yang rentan.


Dalam komunitas pedesaan yang telah menjadi komunitas pengiri migran ditemukan bahwa prefensi gender orang tua untuk anak telah bergeser. Para orang tua menyatakan bahwa mereka sekarang lebih suka memiliki anak perempuan karena mereka merasan anak perempuan lebih mungkin mendukung keluarga dengan bekerja sebagai pekerja rumah tangga migran. (LRC – KJHAM)


Kurangnya informasi dan pantauan pemerintah, perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga migran memungkinkan mengalami pelecehan dan kekerasan dari majikan dan/atau agen atau perantaranya. Sehingga perlu adanya penelitian, kebijakan dan penyediaan layanan perlindungan korban perdagangan orang yang sensitif, menyasar pada kebutuhan spesifik gender, serta sebisa mungkin meminimalkan diskriminasi gender.


Dengan ini sebenarnya sadar atau tidak, selama ini kita hidup beriringan dengan budaya patriarki yang direproduksi terus menerus entah itu dari luar maupun orang tua sendiri, seakan-akan patriarki adalah sebuah budaya yang harus diturunkan pada anak ataupun cucu agar lebih mengetahui posisi antara laki-laki dan perempuan dengan embel-embel kodrat.


Dengan ini perlu adanya wadah untuk mendengar suara perempuan dan menghormati perempuan yang mengalami kekerasan. Kurangnya pengetahuan hak-hak perempuan dapat membuat sebuah perspektif bahwasannya perempuan lebih rendah atau mereka memang pantas mendapatkannya.


“Keberpihakan terhadap korban (kekerasan) dan empati kepada mereka adalah modal yang baik untuk seseorang menjadi teman bagi korban, untuk membantu dia, mengangkat dia dari keterpurukan emosinya”. – Sita Aripurnami (Peneliti dan Pendiri Kalyanamitra)


Perempuan dan laki-laki bisa melanjutkan perjuangan Kartini dengan mendukung pemberdayaan perempuan dan mewujudkan keadilan serta kesetaraan gender.

 


Seputar Perempuan Dalam Pusara Kekerasan