Berkenalan Dengan "Anak Semua Bangsa"

 


oleh: Najwa Kareenina, Peserta Didik SMAN 34 Jakarta

Judul           : Anak Semua Bangsa

Pengarang  : Pramoedya Ananta Toer

Penerbit      : Lentera Dipantara

Ketebalan   : 538 halaman

ISBN            : 9789799731241

Thn Terbit   : 2006


“Pendeknya, aku dinilai sebagai orang yang tak kenal bangsa sendiri.” ~Raden Mas Minke~


Apakah di antara kalian ada yang tahu tentang Tetralogi? Atau di antara kalian ada yang menyukainya? Dan, kira-kira, mengapa itu dapat disebut sebagai sebuah Tetralogi, ya?


Mendengar kata Tetralogi, mengingatkan saya akan sebuah novel dari salah satu pengarang sejarah sastra Indonesia. Ya, dia adalah Pramoedya Ananta Toer, seorang pengarang kelahiran tahun 1925. Dia adalah seorang sastrawan terkenal dengan 4 karyanya, biasa disebut dengan Tetralogi Pulau Buru. Tetralogi merupakan gabungan dari suatu karya yang terdiri dari 4 karya yang berbeda.


Buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer layak diacungi jempol, karena kesuksesan tetralogi Pulau Buru menghantarkan Pramoedya Ananta Toer menjadi kandidat peraih novel terbaik saat itu. Pramoedya Ananta Toer ialah salah satu sastrawan atau pengarang tetralogi Indonesia, ia ingin menyampaikan pesan yang lebih substansial dari pada sekedar cerita anak sekolahan dan kisah cinta muda-mudi tempo dulu.


Dari 4 karyanya, saya akan membuat resensi dari salah satu karyanya yang berjudul “Anak Semua Bangsa”.


Novel Anak Semua Bangsa menjadi novel kedua dari tetralogi Pulau Buru yang terdiri dari 4 buku novel yaitu, Bumi Manusia, Rumah Kaca, dan Jejak Langkah. Anak Semua Bangsa adalah buku karya Pramoedya Ananta Toer, buku ini ditulis pada tahun 1975, saat ia sedang berada dalam tahanan penjajah di Pulau Buru.


Kalau novel bagian pertama, Bumi Manusia merupakan penyemaian dan kegelisahan, tetapi novel bagian kedua ini, Anak Semua Bangsa merupakan observasi dan kehidupan arus bawah Pribumi yang tidak berdaya melawan kekuatan bangsa Eropa.


Anak Semua Bangsa dimulai dengan suasana duka karena kematian Annelies. Minke kemudian memutuskan mengisi waktunya dengan menulis. Namun, hobinya tersebut mendapatkan kritik yang tajam dari dua sahabatnya yaitu Jean Marais  dan Kommer, karena Minke menulis dalam bahasa Belanda saja. Kritikan tersebut membuat Minke menjadi tersinggung. Menurut Minke, menulis dengan bahasa pribumi dianggap sebagai penghinaan dan aktivitas rendahan, karna Minke menganggap bahwa Belanda merupakan bangsa yang begitu ia kagumi.


"...menulis bukan hanya untuk memburu kepuasan pribadi. Menulis harus juga mengisi hidup." Jean Marais,


Kisah Minke ini akhirnya diketahui oleh Nyai Ontorosoh, Nyai yang simpati ini akhirnya membantu Minke di bawah pengawasan Darsam. Dari Nyai Ontorosoh Minke mendapatkan pencerahan.


Minke secara tidak sengaja menemukan keributan di sekitar pabrik gula. Keributan tersebut terjadi karena petani gula di paksa untuk menjual lahannya kepada pemerintah Belanda dengan uang ganti yang tidak sepadan. Melalui peristiwa tersebut Minke kemudian menjanjikan untuk membantu petani tersebut, ia kemudian membuat laporan tentang permasalahan tersebut dan ternyata laporannya diabaikan. Dari kejadian tersebut rasa kagum dan percayanya kepada Belanda dan pemerintah kolonial menjadi musnah. Saat itulah Minke sadar sepenuhnya bahwa ia harus menulis dengan bahasanya sendiri tentang rakyatnya sendiri dan dibaca oleh bangsanya sendiri.


“....Eropa tidak berhebat – hebat dengan nama, dia berhebat – hebat dengan ilmu dan pengetahuannya.... seluruh dunia kekuasaan memuji – muji yang kolonial. Yang tidak kolonial dianggap tak punya hidup, termasuk mamamu  ini. Berjuta – juta umat menderitakan tingkahnya dengan diam – diam seperti batu kali yang itu juga... Si pembohong tetap pembohong, si penipu tetap penipu dengan ilmu dan pengetahuannya... Tapi kau, Nak, paling sedikit kau harus bisa teriak. Tahu kau mengapa aku menyayangi kau lebih dari siapa pun? Karna kau menulis. Suaramu tak padam di tiup angin, abadi, jauh, jauh di kemudian hari....”


Novel ini memiliki tema yang unik meskipun masih menceritakan Minke dan tokoh yang sama pada Bumi Manusia dengan suasana kolonialisme. Anak Semua Bangsa menganalisis secara tajam budaya Jawa dan sifat inferioritas masyarakat pribumi yang membuat penjajahan Eropa menjadi lama. Dalam novel Anak Semua Bangsa, tokoh Minke akan di tuntun menjadi sosok yang harus bisa menghadapi realitas bahwa bangsanya telah dijajah oleh Eropa dan tidak sebaik apa yang dia pikirkan.


Pramoedya Ananta Toer dalam novel Anak Semua Bangsa menyampaikan dengan sangat baik, sehingga kita tidak menyadari bahwa perubahan karakter Minke menjadi seseorang yang mulai tergerak hatinya karena realitas yang dapat menghancurkan bangsanya.


Buku Tetralogi Pulau Buru ini ternyata dilarang peredarannya pada masa orde baru, karena dianggap berbahaya, serta karena Pramoedya Ananta Toer merupakan tahanan politik karena keikutsertaannya dengan Lekra. Pelarangan tersebut juga di khawatirkan mengancam eksistensi pada masa orde baru.


Meskipun novel ini merupakan salah satu novel tua, tapi novel karya Pramoedya Ananta Toer memang harus di acungi jempol, karena bagi saya novel ini bisa menjadi inspirasi dan menambah wawasan akan sebuah kekejaman bangsa Eropa terhadap Indonesia. Menurut saya, novel ini mudah dipahami untuk sebuah novel sastra, sayangnya di sepanjang cerita dalam novel ini banyak sekali istilah – istilah bangsa Eropa yang mungkin bisa sesekali membuat orang keliru saat membacanya.


Kesimpulannya, novel Anak Semua Bangsa merupakan novel sastra yang  bagus dan rinci dalam penyampaiannya. Alur ceritanya mudah dipahami dan memberikan sensasi menyedihkan, menegangkan, juga pelajaran hidup disepanjang cerita. Banyaknya bahasa asing tidak menjadi penghalang bagi kamu yang menyukai cerita bergenre sastra ini.


Selamat Membaca!

Berkenalan Dengan "Anak Semua Bangsa"