oleh: tauflam de silentio
Mengapa selalu
perempuan? Saya menduga, pertanyaan inilah yang terbesit dalam hati serta
pikiran Kartini saat itu. Bagaimana tidak, perempuan saat itu, wabilkhusus di
masyarakat Jawa, hidupnya terjerat dari pelbagai sisi yang secara tidak sadar dan tidak
langsung, menyebabkan perempuan menjadi kehilangan esensi dirinya serta
kehilangan kepercayaan bahkan harapan dan impian. Sehingga, membawa kedirian
perempuan ke dalam jurang pengekangan dan keterpaksaan. Kekerasan fisik dan
verbal ini bukan tanpa sebab, bukan turun dari langit, tetapi kalau kita lihat
secara historis kehidupan Kartini saat
itu, bagaimana rezim feodal Jawa mencapai titiknya. Watak feodalistik sangat
berkelindan dengan lahirnya kekerasan terhadap perempuan. Tentu saja,
feodalistik lahir dari tiupan roh patriarki yang terus menghidupinya.
Adalah Raden Adjeng
Kartini, sosok perempuan yang lahir tepat pada hari ini, tanggal 21 April 1879.
Perempuan yang melihat, mendengar, dan merasakan, serta yang paling fundamental
adalah mengalami langsung segala macam kekerasan yang dialaminya. Lahir dari seorang ayah yang menjadi
aristokrat, tidak membawa dirinya ke nasip yang lebih baik. Karakter patriarki
dan feodalistik yang telanjur menguat dalam ruang lingkup keluarga, membawa
hidup kartini ke alam penindasan. Fisik dan
batin. Pertanyaannya adalah, bagaimana jika seorang Kartini saja yang, secara
sosial dan politik serta ekonomi, mempunyai kedudukan yang tinggi, diperlakukan
dan diproyeksikan seperti itu, lantas bagaimana nasip perempuan yang, diluar
mempunyai akses, kedudukan, harkat, bahkan martabat sekalipun yang kadung
dicuri oleh kekuasaan, adat, budaya, serta kontruksi sosial lainnya? Tentu saja,
benar-benar malang.
Meskipun begitu, privilege yang diterima Kartini tidak
di-sia-sia-kan olehnya. Betul memang, Kartini dilarang bersekolah atau
melanjutkan ke tingkat tinggi pendidikannya. Tetapi, dengan sedikit mengenyam
pendidikan, Kartini mempunyai akses pendidikan dan bacaan serta jaringan
komunikasi yang begitu luas, dan juga yang paling membantu adalah relasi dengan
beberapa orang dan perempuan elite, tajir, dan high class tentunya yang merekam jejak perbalasan antar surat yang saling
diterimanya, dapat membuat Kartini mampu menjelaskan pandangan dunia ideal,
dunia yang penuh toleransi, partisipasi, dan emansipasi.
Kartini, dalam
pandangan kacamata pragmatis, juga dipandang bukan sekadar manusia atau perempuan
ideal, lebih dari itu, Kartini dicap sebagai simbol perlawanan. Kartini selalu
dinarasikan dengan persoalan ketidakadilan, ketidaksetaraan, intoleransi, bias
jender, dan sebagainya. Secara tidak langsung, Kartini adalah simbol keperempuanan
Indonesia mulai dari tradisional sampai modern.
Namun, apakah persolan
yang sudah diatasi awal oleh pemikiran-pemikiran serta tindak-tanduk Kartini
selesai di kehidupan kiwari ini? Sayangnya tidak. Dengan pelbagai kemajuan dan
arus teknologi yang mengalirkan informasi nyaris tidak bisa dibendung lagi,
menimbulkan banyak sekali persoalan, hambatan, serta kekerasan yang berganti
wujud dan dapat menembus ruang dan waktu dengan cepat persis secepat kilatan cahaya.
Memang betul, adanya sebuah persoalan, memang bisa dilihat dan ditangkap dengan
adanya diskursus, dan itu sehat untuk menciptakan ruang dialektika.
Tetapi, betapa ngerinya
bila salah satu individu, kelompok, dan sebagainya tidak bisa menanggapi dengan
kepala dingin, akal sehat, dan lebih mengenaskannya bila tidak mempunyai akses,
privilege, kesempatan, serta
keterbatasan ilmu, pengetahuan,ekonomi, budaya, politik, dan lainnya. Dan sialnya,
itu selalu mengarah kepada perempuan. Ya, perempuan! Saya meminjam istilah dari
Arif Akhyat sebagai fase “Post-Kartinian”.
Apakah teman-teman
membaca berita beberapa akhir ini ? Entah membaca berita dari media elektronik
atau media sosial. Apa saja isinya ? sudah barang tentu isi berita diwarnai
mulai dari pernikahan Atta Halilintar, Akuisisi saham Cilegon United oleh RANS
Entertainment, vaksin nusantara, sampai lelucon Silicon Valley ala Indonesia
yang akan dibangun di Sukabumi, Jawa Barat. Pelbagai berita telah disajikan,
meskipun banyak sekali berita yang seharusnya menjadi arus informasi bersifat
positif dan merangsang akal sehat, kini justru dipenuhi oleh berita yang
mengaliri informasi bersifat ke-tidak-masuk-akal-an dan menggiring masyarakat
ke dalam kategori arogansi epistemik.
Dari sekian banyak
berita yang disajikan, ada yang membuat saya ingin menghancurkan kaca di kamar
atau ingin mengigit lemari yang terletak persis di depan saya. Berita yang
disajikan oleh pelbagai media beberapa hari yang lalu yaitu masyarakat dan
polisi melakukan razia terhadap para perempuan yang memakai celana ketat.
Dengan alasan, tidak sesuai hukum syariat yang telah disepakati di kota itu dan
(katanya) dapat membuat para lelaki melakukan tindak asusila. Ini persis yang
dilakukan para birokrat beberapa tahun lalu yang terjadi di Pulau Jawa bagian
timur melakukan tindakan penyeleksian keperawanan terhadap calon peserta didik
yang ingin menuntut ilmu dan pengetahuan di sekolah.
Saya membandingkan di mana
peristiwa yang terjadi pada beberapa negara berkembang yaitu meningkatnya
kemajuan penelitian sains dan tidak sedikit pula maraknya pengorganisasian
kemanusiaan untuk membebaskan suara, hak, atau berkaitan dengan civil liberties. Perempuan selalu
dijadikan objek kesalahan atau menjadi asal-usul kekacauan dunia. Mulai dari
cerita Yunani klasik tentang Medusa yang menjadi biang keladi di Athena sampai
yang sekarang menjadi viral yaitu perempuan yang terjebak dalam layanan Open BO sampai pelakor, Atau di realita sekalipun, fenomena ibu-ibu
yang mengendarai motor matic dan
perempuan yang suka nge-gosip sudah menjadi suatu keburukan yang melekat pada
perempuan.
Berita mengenai
perempuan tidak pernah akan berhenti, begitu pula ketidakadilan atau penindasan
yang dialaminya. Pertanyaannya adalah, “Mengapa Selalu Perempuan?” Salah satu jawabannya
adalah hasil dari budaya yang dibangun dari patriarki. Apa itu Patriarki ?
menurut Sylvia Walby dalam bukunya Teorisasi Patriarki (1990), Patriarki adalah
sebuah sistem struktur sosial dan praktik-praktik di mana laki-laki
mendominasi, menindas, dan mengeksploitasi perempuan.
Seiring berjalanya
waktu, budaya patriarki tidak hanya memasuki sistem sosial. Budaya patriarki
telah menggegoroti sistem hukum, sistem pendidikan, bahkan diplintir ke ranah
agama. Jadi, jika melihat fenomena penolakan sekolah dikarenakan siswi sudah
tak lagi perawan, atau KDRT disebabkan karena seorang istri tidak mau melayani
hubungan badan, bahkan perkelahian yang dilakukan sekelompok antar
kecamatan/desa disebabkan oleh perempuan. Karena memang perempuan sudah
dijerumuskan dalam permasalahan dan menjadi objek dalam tindak-tanduknya di
semua sistem.
Hal ini juga dikatakan
oleh Ibu Feminis gelombang-2 Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex
(1989), “Perempuan dan laki-laki dalam aktualitasnya tidak persis seperti dua
arus listrik, karena laki-laki mewakili baik arus positif dan arus netral,
sebagaimana diindikasikan dengan pemakaian kata laki-laki (man – peny.) untuk
menunjukkan umat manusia secara umum: sementara perempuan hanya mewakili
hal-hal yang berkonotasi negatif, yang didefinisikan oleh kriteria-kriteria
terbatas, tanpa adanya hubungan timbal balik.”
Budaya patriarki sudah
melekat dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat. Dan inilah yang menjadi
sponsor utama ketidakadilan dan penindasan
bermukim pada perempuan di sepanjang hidupnya. Patriarki mengkontrol,
mengendalikan dan menyusupkan otoritas ke-macho-an untuk tetap mendominasi
perempuan. Laki-laki absolut, perempuan adalah “liyan”.
Perempuan lahir bukan untuk ditindas, diperas, dilecehkan, bahkan menjadi objek pemuas nafsu belaka. Perempuan selalu bangkit dan melawan atas segala jenis penindasan yang dilakukan oleh patriarki. Meski ini dilihat sebagai aktifitas menjala angin, atau sia-sia karena ketidakmungkinan melawan dan menghancurkan budaya patriarki. Bukan berarti tetap tunduk dan tetap membuka pintu penindasan. Perempuan akan tetap mendobrak peradaban yang dibangun budaya patriarki. “One is not born, but rather. Becomes a woman.”