Teror, Humor, Dan Cinta

 

sumber: Marc Riboud, Photographer of One of History’s Most Iconic Anti-War

oleh: Alamsyah Taufik, seorang manusia yang berhaluan ideologi “Amor Vincit Omnia”, Cinta Mengalahkan Segalanya


     Hanya berselang beberapa hari, dari aksi teror bunuh diri yang dilakukan oleh sepasang suami-istri di depan Gerbang Gereja Katedral Makassar, ada sebuah tindakan upaya Lone Wolf Terrorism yang dilakukan oleh Zakiah Aini di markas Mabes Polri, DKI Jakarta. Tentu saja, dua fenomena tersebut seperti menggambarkan bahwasanya tindakan teror, khususnya di Indonesia, seperti tidak ada habisnya. Kita tahu, rentetan peristiwa teror mulai dari Bom Bali I (2002), Bom JW Marriot (2003), Bom Bali II (2005), Bom Ritz Carlton (2009), Bom Masjid Az-Dzikra Cirebon (2011), Bom Sarinah (2016), Bom Mapolresta Solo (2016), Bom Kampung Melayu (2017), serta Bom Surabaya dan Sidoarjo (2018) (Roland Gunawan, Public Virtue Research Institute, 28 Maret 2021) menghiasi bumi pertiwi, dan sejurus pasca peristiwa terjadi, kita selalu menadahkan tangan ke atas, dan berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar tindakan teror ini berhenti dan tidak akan terjadi lagi. Sialnya, teror menampakkan dirinya lagi, dan sepertinya akan terus menunjukkan eksistensinya. Ini benar-benar situasi buruk, dan inilah kenyataanya.


Teror


Kita pasti berpikir dan bertanya, mengapa teror itu ada? Dan, mengapa ada seseorang yang rela menjadi teroris? Sejak 2015, tercatat lebih dari seribu teroris ditangkap di Indonesia. Lebih dari 95 persen adalah pendukung ISIS. Kita tidak boleh terbuai dalam jumlah kuantitasnya, tetapi lihat bagaimana permasalahan ini bisa terpolarisasi dengan adanya gerakan selanjutnya untuk terus meneror dan melakukan aksi bom bunuh diri di kemudian hari. Inilah yang harusnya menjadi perhatian khusus pemerintah negara dan kita sebagai masyarakat sosial.


David Rapoport, Profesor ilmu politik UCLA, dalam The Four Waves of Modern Terrorism, aksi teror yang berlandaskan agama dan dilakukan oleh kelompok beragama, masuk dalam kategori Gelombang Keempat Terorisme Modern (Gelombang Religius). Gelombang Keempat Terorisme Modern pada dasarnya dimulai dengan Revolusi Iran, tetapi jujur ​​saja, tidak benar-benar mengakar sampai 9/11. Perang Soviet-Afghanistan terjadi selama gelombang ini, serta munculnya kelompok-kelompok seperti Hizbullah dan Aum Shinrikyo — organisasi yang dipengaruhi Buddha, Hindu, dan Kristen yang menyerang kereta bawah tanah Tokyo dengan agen saraf.


Dari data di atas kita bisa tahu, bahwasanya agama secara tidak langsung dijadikan sebagai dasar bagi kelompok tertentu untuk menyerang, meneror, membunuh, bahkan menghabisi yang dianggapnya “musuh” oleh mereka. Apapun agamanya, akan selalu saja ada kelompok-keompok beragama tertentu, yang memanfaatkan serta memplintir ayat-ayat kitab suci untuk dosis doktrin pemenuhan hasratnya melakukan aksi teror.


Tetapi, saat konferensi pers Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa, “Teroris tidak punya agama”. Bagi saya, ini sangat kontradiktif. Saya setuju apa yang dikatakan oleh oleh media Islam Bergerak yang menyatakan, “Terorisme lahir dari pelbagai faktor mulai dari bangunan ideologis, penafsiran, dan praktik sosial keagamaan tersebut, dan tak ketinggalan juga persoalan struktural ketimpangan akibat kapitalisme, serta kemuakan atas krisis neoliberalisme yang terjebak dalam keberimanan dogmatis dan disktiminatif”. Jelas, semua teroris itu mempunyai agama, dan garis ideologisnya kokoh membentang sampai ke jiwanya.


Saya tekankan sekali lagi bahwa, “bukan agamanya, tetapi kelompok beragamanya lah yang mempergunakan dalih agama dengan memplintir, serampangan, dan kengawurannya membaca tafsir kitab suci demi memenuhi hasrat melakukan aksi teror dan doktrinasi kepada para pengikutnya guna menciptakan generasi teroris selanjutnya. Ini didukung dengan realitas kemiskinan dan kegagapannya serta kegugupannya dalam menghadapi permasalahan ekonomi hingga terjebak dalam dogmatis labirin “Lebih baik mati demi agama daripada miskin di dunia” diurapi lagi dengan nada-nada Jihad fi sabilillah, pahala yang besar, dan mendapatkan 72 bidadari bla bla bla. Pak Jokowi beserta jajarannya, gagal memahami “Apa itu teror” dan “Mengapa teroris ada”.


Ungkapan belasungkawa dan mengutuk aksi teror memang diperlukan, tetapi itu tidak dapat menyelesaikan inti dari penyelesaian terorisme sampai ke akar. Tanpa adanya ilmu dan pengetahuan dalam memahami realitas teror dan tindakan yang komprehensif di segala lini institusi negara dan bantuan solidaritas masyarakat negara untuk memberikan informasi kebenaran yang berkaitan dengan aksi teror, jangan harap teror dan teroris akan berakhir di negeri ini.


Humor


Lantas, mengapa ada saja orang yang rela direkrut dan menjadi teroris? Bahkan, mengapa pelaku teror selalu saja ada meski sudah dikejar dan ditangkap? Kalau menggunakan model Differential Association-nya Sutherland, dipadu dengan social bond-nya Hirschi, secara hipotetik terjadi karena masih terpeliharanya eksklusifitas. Artinya, seorang teroris merasa teralienasi dengan kehidupan di luar dirinya, sehingga ia ingin bergaul dengan sekelompok yang satu garis dengan ideologinya saja. Saya setuju terhadap teori dari Sutherland.


Seseorang yang bergabung dengan kelompoknya saja, bukan hanya kekurangan keluasan pikiran, keterbukaan jendela fenomena kehidupan yang ada, tetapi mengkerucutkan nilai-nilai estetik humor. Dan, ini penting bagi penilaian saya. Kasubdit Napi Deradikalisasi badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kolonel Sigit Karyadi mengatakan, “Orang humoris paling sulit direkrut oleh teroris”. Meskipun saya setuju dengannya, tetapi dalam batin saya juga mempertanyakan kembali, “Apa itu humor?” dan “Mengapa orang yang humoris cenderung sulit direkrut oleh teroris?”


Humor bukan sekadar hanya ekspresi tubuh belaka. Kehidupan adalah pergerakan dinamis, dalam tata kehidupan (individu/sosial) sebagaimana dibentuk oleh rasio. Filsuf Henri-Louis Bergson mengatakan, sesuatu lucu, pada dasarnya, perlawanan di dalam relasinya dengan norma-norma dan cita-cita sosial. Hidup di dalam masyarakat, seperti observasi Bergson, membutuhkan perhatian terus menerus dan keterjagaan (wakefulness), ‘elastisitas tubuh (body) dan pikiran (mind)’. Seseorang tertawa karena terdapat sesuatu yang tidak diduga-duga atau tidak seharusnya demikian, hal ini bisa juga benar. Namun, sebenarnya seseorang tertawa terhadap otomatisme manusia lain (human automata).  Analisis ini dapat disebut ‘the automaton theory’, khusus dalam analisis Bergson. (http://lsfcogito.org/bergson-dan-kenapa-kita-tertawa/).


Orang yang humoris tidak terjaga dalam tempurung keterpenjaraan realitas yang monoton, hidup dalam kelompok (teroris) yang itu-itu saja, menutup ruang keterbukaan intensitas hidup, dan tidak begitu saja menerima doktrinasi yang ada. Tertawa bukanlah sebuah emosi, namun sebuah tindak intelektual. Tertawa bukan muncul dari hati, tapi dari pikiran.  Untuk menampilkannya, perlu momen-momen insensibilitas, atau dapat dikatakan mematirasakan hati sejenak, “a momentary anesthesia of the heart”. Dalam melihat kelucuan seseorang, kita harus menghindarkan diri dari perasaan menilai dan membayangkan posisi seseorang itu di posisi kita.


Jadi, kalau ada seorang teroris yang mengatakan bahwa bom bunuh diri akan mendapatkan pahala, surga dan lainnya, seorang humoris akan berpikir tanpa membutuhkan waktu yang lama dengan membalikkan omongan mereka, “Kalau memang bom bunuh diri masuk surga dan pahala, serta bidadari, mengapa tidak engkau saja terlebih dahulu yang melakukan bom bunuh diri?” Tertawa adalah lepas. Melepaskan segala atribut dalam tubuh kita untuk menelanjangi fenomena yang ada. Seorang humoris tentu saja sulit untuk direkrut bagi teroris, sebab untuk apa mati demi sesuatu yang di sana dan menjangkau kehidupan yang samar-samar, lah setiap hari bagi seorang humoris selalu mengalami kematian. Entah itu mati karena cinta yang tak terbalaskan, atau mati karena mengingat kehidupan adalah sebuah keganjilan dari kontradiksi hati dan pikiran.


Setiap humor ialah komentar atau kritik yang melibatkan kesadaran. Humor sebagai kritik untuk kehidupan, oleh karena itu tidak dapat dilepaskan dari batasan-batasan manusia. Sehingga, kritik atas hidup melibatkan ‘ide-ide’ atau konsep relasional pengetahuan. Teroris bila berhadapan dengan seorang humoris, ia akan kelagapan, sebab seorang yang punya sense of humor akan melibatkan ide-ide yang rasional dan bebas untuk membongkar keterselubungan ideologi mereka. Untuk apa bom bunuh diri, bila tiap hari terkena bom waktu dari rasa cinta dan kasih kita yang begitu dahsyat saat fallin in love with people we can’t have.


Cinta


Cinta adalah anugerah terindah yang dimiliki setiap insan manusia yang hidup di dunia. Cinta hadir dalam semesta untuk menaungi keseluruhan makhluk hidup yang berada di naungan langit dan berpijak di atas bumi. Cinta melantunkan nada-nada kedamaian, dan menciptakan syair-syair yang begitu meneduhkan. Sebentar-sebentar, kok jadi begini sih? Memang apa kaitannya antara teror, teroris, dan cinta? Oh, jelas ada dong! Seorang yang suka teror atau menjadi teroris, selain absennya pikiran, yang paling fundamental adalah: KETIADAAN CINTA DI DALAM HATI DAN JIWA MEREKA!


Ya, kekosongan jiwa mereka akan cinta dan kasih sayang terhadap manusia lain dan kehidupan, membawa mereka ke alam barbar dan jahanam. Seorang manusia yang penuh cinta, bukan hanya peka terhadap realitas fenomena yang ada, tetapi secara mendalam, ia sadar akan eksistensinya bahwa ia dilahirkan dari seorang perempuan yang mempertaruhkan nyawanya demi melahirkan kita semua. Ia sadar, bahwa dunia dinamis dan ruang serta waktu bergerak cepat. Mungkin saat ini kita lapar, besok bisa saja ada seseorang yang mengulurkan bantuan makanan kepada kita.


Kita sedih hari ini, esok akan ada seseorang yang datang bukan hanya janji kebahagiaan belaka yang tersimpan manis dalam ucapan, tetapi seseorang yang teguh dan berprinsip penuh cinta yang mewujudkan impian dan imajinasi kita dalam ikatan percintaan dalam balutan keabadian. Ya, seorang penuh cinta akan menyadari dan merasakan, betapa buruknya bila melihat ada seseorang yang tersakiti karena kehidupan, karena ia tahu dan paham betul, bagaimana rasanya disakiti dan dikhianati. Oleh karena itu, seorang penuh cinta akan menolak untuk menjadi teroris dan melakukan aksi bom bunuh diri. Sebab, ia pernah mengalami penderitaan karena bukan kesalahan darinya, jadi, bagaimana mungkin seorang penuh cinta akan membunuh manusia lain dan menyakiti hati orang-orang yang mereka bunuh?


Seorang penuh cinta sadar pula, bagaimana balas dendam adalah hal yang konyol. Kejahatan dibalas kejahatan akan menimbulkan kejahatan baru, dan tak akan pernah selesai. Kejahatan harus dibalas dengan ketabahan dan kasih sayang penuh. Bila balas dendam adalah jalan keluar, apa bedanya kita dengan mereka? Jadi, untuk memutus tali rantai kekerasan teror adalah, dengan menyambungkan rasa cinta yang hangat dan menyejukkan.


Sebagai penutup, banyak yang bertanya kepada saya, “Semenjak Pak Topik tahu kalau Miss Ribka mau nikah dan pasca pernikahan Miss Ribka, Pak Topik semakin aktif saja ya melakukan civitas kehidupannya.”  Ya, kalian benar! Tidak bisa dipungkiri, tapi memang begitulah keadaanya. Sebab, bagi saya, tingkat makrifat mencintai seseorang yang paling tinggi adalah dengan melihat, mendengar, merasakan, dan mengikhlaskan orang yang kita cintai hidup berbahagia dengan orang lain. Dengan cinta bisa meredamkan amarah, dendam, dan hal buruk lainnya. Jangankan teror dan menjadi teroris bom bunuh diri, bagi seorang penuh cinta, sehari-harinya saja sudah meledak dan mati karena bom waktu cinta dan kasih sayang yang tak terbalaskan, yang tak bisa kita miliki seutuhnya.

Teror, Humor, Dan Cinta