Oleh: Yudithia Kusniawati, Peserta Didik SMAN 34 Jakarta
Ruangan megah bergaya victorian classic terasa sangat hening
dan mencekam karena sang pemilik hanya bergeming menatap lurus ke arah jendela
besar bagian timur. Sang pemilik, Jeffery Lewis Osborn, adalah seorang Jenderal
besar Karatia, sebuah negara di sebelah Barat benua Oseana. Jeffery Lewis
Osborn, merupakan keturunan bangsawan Osborn yang menjadi ‘pedang suci’ bagi
sang pemimpin Karatia, Frederick Natt
Oxley.
Mata yang selalu
menatap musuh dengan tajam kini terlihat sedikit sendu. Jeffery hanya bergeming
memandang jendela besar yang menyorot taman istana. Matanya memandang sendu
seorang gadis cantik yang berlarian menyusuri hamparan bunga camellia dan
garbera.
Pikiran Sang Jenderal
melalang buana. Memikirkan banyak hal, strategi perang melawan Negara
Azmenistan, misi rahasia dari sang pemimpin, serta hal yang paling menghabiskan
ruang di pikirannya adalah gadisnya, Aurora Pansy. Jeffery telah jatuh terlalu
dalam pada Aurora, seorang gadis dari suku Calbia yang harusnya ia bunuh
beberapa bulan lalu.
Keputusan Frederick
beberapa bulan silam mengenai rencana pembantaian pada suku Calbia
menggemparkan seluruh warga Karatia. Bagaimana tidak, pasalnya hal tersebut
sangat tidak berperikemanusiaan. Walau Frederick berkata bahwa hal itu
dilakukan agar tidak ada upaya pembalasan dendam suku Calbia atas penjajahan
yang dilakukan Karatia pada negara mereka, Crashbania. Seberapa banyak pun
pertentangan dari berbagai pihak, hal itu tak akan memberhentikan ambisi sang
pemimpin bengis dan keji dari keputusan yang sudah dikukuhkannya. Genosida yang
dilakukan oleh Negara Karatia pada suku Calbia sudah memakan lebih dari dua
juta korban jiwa.
Di tengah pembantaian
suku Calbia, Jeffery yang saat itu memimpin pasukan pembantaian, terpesona oleh
seorang gadis cantik yang mencoba melindungi anak laki-laki bertubuh mungil.
Jeffery yang seharusnya menghabiskan seluruh nyawa suku Calbia, memutuskan
untuk menyelamatkan nyawa gadis itu, Aurora Pansy. Ia membawa Aurora ke
istananya dengan sembunyi-sembunyi. Tentu hanya segelintir orang yang
mengetahui keputusan gilanya, diantaranya sang tangan kanan Martin dan para
maid di istana Jeffery.
Dua bulan tinggal
bersama Aurora nyatanya membuat sang jenderal besar jatuh terperosok terhadap
semua pesona yang dimiliki gadis itu. Jeffery bahkan pernah membatalkan
pertemuannya dengan para mentri Karatia hanya demi menjaga Aurora yang saat itu
terserang demam. Kilas balik mengena kenangan-kenangan indah yang terukir
selama dua bulan ini tak ayal membuat Jeffery semakin kalut. Dia sedang
dihadapkan pada pilihan yang sangat mustahil baginya untuk memilih. Jeffrey
seperti dihadapkan pada pilhan yang akan membunuh raganya atau membunuh
jiwanya.
Ternyata usaha
menyembunyikan keberadaan Aurora selama dua bulan ini berjalan sia-sia. Sang
pemimpin Frederick tetap mengetahui hal yang disembunyikannya dengan sangat
rapat ini. Dugaan tentang penghianat di istananya kian mencuat. Pasalnya pada
pertemuan eksklusif sebelumnya dengan Sang pemimpin Karatia sangat mengacaukan
pikirannya. Frederick mengetahui rahasianya dan meberikan ia pilihan yang
sangat sulit. Pilihan antara menghianati negaranya atau mengianati cintanya.
“Jeffery,” sapaan halus
itu membuyarkan segala pikiran rumitnya.
“Sejak kapan kau
disini, Aurora?” ujar Jeffery setelah mengembalikan pikirannya yang sebelumnya
seperti berada di tempat lain.
“Aku sudah disini
sedari tadi, Jeff. Aku bahkan hampir saja menghubungi dokter pribadimu karena
kau hanya bergeming dan melamun saat aku terus memanggil namamu,” Ucap Aurora
dengan halus. Hal tersebut membuat Jeffery menerbitkan senyum indah yang jarang
sekali diperlihatkannya pada orang lain kecuali gadisnya.
“Maaf karena telah
mengabaikanmu, sweetheart.”
“Apakah ada yang
menganggu pikiranmu, Jeff?” Tanya Aurora dengan nada khawatir yang beitu
kentara.
“Tidak ada, kau tidak
perlu mencemaskanku,” Jeffery hanya bisa memaksakan senyumnya untuk menenangkan
gadisnya. Jeffery menarik pinggang Aurora dan memeluknya dengan erat seolah tak
ada hari esok. Aurora yang merasa sesak tentu mencoba untuk melepas pelukan
Jeffery, namun tenaganya tidak sebanding dengan milik sang Jenderal Karatia
itu.
“Biarkan seperti ini
untuk sebentar, please.” Jeffery berkata
dengan pelan namun tetap dapat didengar oleh Aurora. Sehingga Aurora berhenti
dan membalas pelukan sang jenderal dengan hangat.
“Aurora.”
“Hm?”
“Apa kau membenciku?”
Tanya Jeffery dengan suara beratnya.
“Hei! Untuk apa aku membenci pria baik sepertimu. Kau adalah penolongku, saudagar muda yang tampan dan kaya raya,” jawa Aurora dengan nada menggoda di akhir ucapannya.
Jeffery hanya tersenyum
paksa saat Aurora mendengar kalimat terakhir yang Aurora ucapkan. Kenyataannya
bahwa Aurora tidak mengetahui dirinya yang sebenarnya adalah seorang Jenderal
besar Karatia yang tentunya berperan besar dalam pembantaian pada suku Calbia
beberapa waktu silam. Aurora mengenalnya sebagai saudagar kaya raya yang
memiliki harta yang hampir menyamai keluarga bangsawan Kartia. Entah apa yang
akan dilakukan oleh Aurora bila ia mengetahui kebenaranya. Jeffery harus
menyiapkan diri jikalau Aurora membencinya, yang mana hal itu membuatnya takut.
Dibenci oleh orang yang kau cintai adalah malapetaka besar.
Sore hari itu
dihabiskan oleh Aurora dan Jeffery dengan pelukan hangat sembari memandang
indahnya taman bunga yang mereka lihat dari jendela besar. Jeffery hanya
berharap bahwa ketakutan-ketakutannya tidak akan terjadi. Dan untuk pilihan
mustahil yang membebani pikirannya tadi akan ia cari jalan keluarnya tanpa
harus memilih diantara keduanya.
***
“Aku harus pergi. Ada
kepentingan mendesak yang mengharuskanku hadir. Mungkin akan lebih lama dari
sebelumnya,” ungkap Jeffery pada gadisnya, Aurora.
“Kali ini berapa lama,
Jeff?”
“Dua minggu jika tidak
ada halangan.”
“Baiklah. Jaga dirimu,
Jeff. I’ll miss you,” tandas Aurora
dengan wajah yang sedikit merona.
Jefffery yang
mendengarnya langsung menerbitkan senyum mahal miliknya. Ia langsung melabuhkan
kecupan hangat di dahi sang pujaan hati, sebuah kebiasaan yang selalu ia
lakukan sebelum meninggalkan istana dua bulan ini. Hatinya menghangat saat
Aurora dengan terang-terangan menunjukkan afeksinya. Rasanya ia ingin sekali
membatalkan kepergiannya agar bisa menghabiskan waktu dengan kesayangannya
lebih lama. Namun apa boleh buat, Jeffery harus tetap pergi karena pertemuan
kali ini akan membahas hal penting, yaitu rencana Karatia meng-invasi
Azmenistan.
Jeffery pergi meninggalkan
istananya dengan beberapa tentara kemiliteran yang berada di bawah kuasanya.
Tentu saja para tentara tersebut tidak menggunakan baju militer, melainkan
menggunakan setelah formal seperti yang digunakan oleh Jeffery. Aurora akan
curiga jika melihat ia pergi didampingi oleh sekelompok orang berseragam
militer. Dan Jeffery tidak ingin hal itu terjadi, bahkan membayangkannya saja
sudah membuat ia gelisah.
***
Jeffery tiba di markas
militer yang berada di sebelah Utara Karatia setelah menempuh perjalanan selama
tiga jam lebih. Markas bagian utara merupakan markas utama dan markas paling
besar milik Karatia. Pertemuan-pertemuan dan rencana besar yang bersangkutan
dengan Karatia selalu dilakukan di sini. Markas ini seperti rumah kedua bagi
Jeffery. Sebelum kedatangan Aurora, ia lebih suka menghabiskan waktu di markas
utara daripada di istananya. Ia sangat mencintai dunia kemiliteran dan
mengabdikan seluruh hidupnya untuk Karatia. Namun itu semua sebelum kehadiran
gadis cantik kesayangan sang jenderal besar Karatia. Setelah kedatangannya,
Jeffery menjadi ragu dengan prinsip dan pengabdian yang selalu ia lakukan untuk
Karatia. Aurora datang ke dalam hidup Jeffery dan memutarbalikan seluruh kehidupannya.
Prinsip teguhnya sudah
tercoreng dengan menyelamatkan salah satu gadis dari suku Calbia. Terjadi
pergolakan batin pada diri sang Jenderal. Ia sangat mencintai Negara dimana ia
lahir dan besar ini, namun ia juga sudah jatuh terlalu dalam pada Aurora.
“Selamat datang
Jenderal Osborn,” hormat para tentara kemiliteran yang hadir pada Jeffery.
Orang lain memang memanggilnya dengan nama belakangnya, Osborn. Hanya keluarga
dan Aurora yang dapat memanggilnya dengan nama Jeffery.
Jeffery hanya memandang
keseluruhan dengan datar, tidak ada ekspresi yang terlihat. Ia tidak membalas
sapaan hormat yang ditunjukkan padanya hanya untuk sekedar basa-basi. Inilah seorang
Jeffery yang dikenal orang lain. Kaku, datar, dingin, kejam, tak kenal ampun,
namun sangat hebat di dunia kemiliteran. Dia berhasil menjadi jenderal besar di
umurnya yang masih belia. Ia bahkan menjadi jenderal termuda sepanjang sejarah
Karatia. Semua ini berkat kepintaran dan kepiawaiannya dalam merancang
strategi, menghabisi musuh, dan memajukan kualitas kemiliteran Karatia.
Semua orang sudah
berkumpul di tempat pertemuan. Mereka memandang Jeffery dengan berbagai
tatapan. Kagum, takut, iri, segan, bahkan datar. Ia cuek dengan semua tatapan
itu.
Pertemuan sangat
penting pun dimulai. Suasana yang tercipta sangat menegangkan dan mendebarkan.
Argumen-argumen yang di utarakan pun semakin membuat pertemuan menjadi panas
dan mencekam. Jeffery hanya diam mendengarkan argumen-argumen itu. Ia merasa
argumen dan pendapat yang disampaikan memiliki banyak kerugian bila ditilik
lebih jauh. Orang-orang itu hanya fokus pada kemenangan tanpa memikirkan dampak
dan hal apa yang akan terjadi sebagai konsekuensi dari keputusan yang diambil.
“Apakah menurut kalian
dengan menyerang pusat kota Negara Azmenistan melalui jalur darat adalah
keputusan yang tepat?”
Keadaan seketika
menjadi hening setelah Sang Jenderal mengatakan hal tersebut. Semua orang diam,
seakan bisu seketika sehingga tidak dapat menawab pertanyaannya. Inilah yang ia
tidak sukai, mereka kurang kompeten dalam menyusun strategi, tidak memikirkan
dan melihat dari berbagai sudut.
“Pusat kota memiliki
keamanan paling ketat. Jika langsung menyerang tanpa perhitungan matang, sudah
dipastikan bahwa hanya kekalahan yang akan kita dapatkan.”
“Kita perlu melakukan
sabotase palsu ke pabrik de Armetz di ujung barat Azmenistan. Pabrik itu adalah
tempat Azmenistan memproduksi senjata perang dan pasokan peluru timah beracun.
Jika pusat kota adalah jantung, maka de Armetz adalah nadi. Perhatian
Azmenistan akan teralih ke de Armetz dan penjagaan pusat kota melemah. Agen
rahasia akan melakukan tugas sabotasi palsu ini. Mereka akan membuat seolah de
Armetz telah di sabotase. Saat perhatian mereka teralih, kita lakukan serangan
ke beberapa kota Azmenistan secara bersamaan melalui berbagai jalur.”
“Apakah Azmenistan akan
percaya dengan tipuan itu, Jenderal?” Tanya salah satu mayor jenderal, Axton.
Semua mata beralih menatap sang mayor jenderal setelah pertanyaan tersebut
dilontarkan ditengah ketegangan ini.
“Saya sudah memikirkan
hal tersebut, Mayor. Mereka akan percaya dan untuk bagaimana cara keberhasilan
itu tercapai, biar hal itu menjadi rahasia para agen.” Jawaban Jeffery membuat
sang mayor jenderal mengangguk, namun ia dapat melihat ketidak puasan dari mata
sang mayor. Namun ia hanya mengabaikannya.
“Selanjutnya kita akan
melakukan serangan ke beberapa kota penting Azmenistan, seperti La costsa,
Kahmer, Armen, Kzastan, dan tentunya Sacosta, pusat kota Azmenistan. Serangan
akan dilakukan melalui jalur darat, udara, dan laut. Untuk beberapa jalur, kita
akan melakukannya secara geriliya saat semua orang sudah terlelap. Serangan
jalur laut akan dilakukan pada kota La costsa dan Armen karena kota tersebut
berada di perbatasan wilayah pesisir Azmenistan. Kahmer dan Kzastan akan
diserang melalui jalur udara. Khusus untuk Sacosta, penyerangan akan dilakukan
melalui jalur darat dan udara. Semua
serangan dilakukan di waktu yang sama. Hal itu akan membingungkan Azmenistan
dan membuat mereka kelimpungan. Dengan begitu, kemenangan terasa lebih dekat
kita jangkau.” Jelas Jeffery dengan lugas tanpa ada keraguan didalamnya.
Lalu setelah semua
argument dan pendapat yang sudah disampaikan, sudah waktunya penyerangan
dilakukan. Azmenistan menjadi lautan darah dalam semalam. Kemenangan telak
didapatkan Karatia dengan Jenderal besar Jeffery Lewis Osborn sebagai pemimpin
penyerangan. Hampir semua penyerangan yang di pimpin oleh Jeffery memawa
kemenangan. Tidak heran bila dia mendapat status sebagai jenderal besar, karena
ia pantas.
***
Setelah penyerangan
selesai, Jeffery sudah tidak sabar untuk kembali ke istana dan memeluk gadinya
seharian. Rindunya sudah kepalang besar. Jeffery kembali ke istananya dengan
perasaan senang dan rindu yang menggebu.
Saat memasuki bangunan
istana, ia tidak melihat jejak gadisnya. Ia memanggil nama Aurora, namun tidak
ada jawaban. Hingga kepala pelayan menghampirinya dengan raut wajah ketakutan.
Hal itu tak ayal membuat Jeffery menjadi was-was.
‘Apakah
terjadi sesuatu pada gadisnya?’ Tanya Jeffery dalam hatinya.
“Selamat datang
kembali, Tuan,” sambut sang pelayan. Namun Jeffery tidak mengidahkan hal
tersebut dan langsung bertanya dimana keberadaan Aurora.
“Dimana Aurora?”
“I-itu.. Nyonya Aurora
berada di ruang pribadi bawah tanah anda, Tuan.”
Ungkapan sang kepala
pelayan langsung membuat dirinya dirundung kegelisahan. Pasalnya ruang pribadi
bawah tanahnya adalah ruang dimana ia menghabiskan waktu untuk memikirkan
segala macam strategi dan pastinya barang-barang yang menunjukkan identitasnya
sebagai jenderal besar Karatia ada disana.
Jeffery langsung
berlari menuju ruang pribadi bawah tanahnya. Ia membuka pintu besar ruangan
tersebut dengan tergesa-gesa tanpa mengetuk terlebih dahulu. Ia melihat Aurora
disana. Di dalam ruangan pribadi bawah tanahnya sedang memandang lukisan besar
dirinya yang sedang menggunakan seragam kemiliteran sebagai jenderal besar.
Lukisan hadiah dari seniman terkemuka Karatia atas pengangkatannya sebagai
jenderal besar Karatia yang baru.
“Aurora,” panggil
Jeffery dengan lirih namun tetap terdengar di telinga gadis itu.
Aurora membalikkan
badannya dan menatap lurus ke arah Jeffery. Jeffery segera berjalan mendekat ke
arah sang gadis. Tatapan hangat dan teduh yang selalu ia dapatkan dari Aurora
berubah menajadi tatapan datar yang dingin dan menusuk. Hal itu membuat dadanya
terasa sesak. Sungguh, Jeffery benar-benar takut sekarang.
“Selamat datang,
Jenderal Jeffery Lewis Osborn.”
Sapaan datar Auora
membuat luka tak kasat mata dihatinya. Sungguh, Jeffery berharap bahwa pikiran
negatifnya tidak terjadi. Namun saat melihat tatapan dan mendengar sapaan
Aurora, membuat dirinya dirundung kegelisahan. Jeffery mencoba untuk memeluk
Aurora, namun tidak berhasil karena Aurora menghindarinya.
“Saya sangat bodoh. Benar
begitu, jenderal?” Tanya Aurora yang menggunakan nada datarnya.
“Apa maksudmu, sweetheart?” balas Jeffery yang berusaha
menutupi kegelisahannya.
“Bahkan hingga kini kau
tetap membohongi dan membodohi saya.” Aurora terkekeh sinis.
“Saya merasa muak pada
diri saya sendiri, yang dengan lancangnya jatuh hati kepada monster tak
berperasaan yang sudah membunuh semua saudara suku saya seperti anda. Namun
saya lebih muak dengan diri Anda, jenderal. Saya tidak peduli bahwa anda akan
membunuh saya setelah saya mengatakan semua hal ini pada anda. Anda, orang yang
saya kira baik karena mengulurkan tangannya saat pembantaian itu terjadi,
ternyata adalah salah satu dalangnya. Saya menghabiskan waktu kebahagiaan semu
dengan orang yang sudah menyebabkan jeritan kesakitan nan pilu suku Calbia.”
Aurora berkata dengan nada lirih yang menyayat hati. Ia menatap Jeffery dengan
pandangan kecewa dan kesakitan mendalam yang tak berujung.
Aurora bejalan mundur
menjauhi Jeffery. Jeffery yang melihat itu berniat untuk mendekatinya, namun
tidak terlaksana karena Aurora sudah meneriaki dan melarangnya untuk mendekat.
Sungguh rasanya Jeffery sesak sekali, hatinya bagai di tancapkan puluhan pisau
saat mendengar ucapan lirih dan tatapan
Aurora padanya.
“Bagaimana saya bisa
hidup setelah mengetahui semua ini? Saya sudah mengkhianati suku Calbia dan
menorehkan rasa malu pada suku yang suci ini.”
Jeffery tidak bisa
mengatakan apapun. Lidahnya terasa kelu, kata-kata yang akan diucap bahkan
hanya tertahan di tenggorokan. Jeffery sangat ketakutan sekarang. Ia takut
Aurora membencinya dan meninggalkannya. Padahal sudah terlihat jelas bahwa
sekarang Aurora sangat membeci Jeffery.
“Bukankah seharusnya
anda membunuh saya saat itu, Jenderal?”
“Auro-“
“Berhenti! Jangan pannggil
nama saya! Saya tidak sudi!”
Aurora semakin berjalan
mundur dengan tangan di belakang badannya. Ia mundur hingga badannya menabrak
sebuah lemari besar berbahan kayu jati. Aurora memejamkan matanya sejenak,
seolah menetapkan keputusan berat yang harus ia ambil. Ia seperti menyiapkan
diri.
“Selamat! Anda telah
berhasil mengancurkan hidup saya, Jenderal. Menghancurkan saya hingga
berkeping-keping tanpa ada satupun yang tersisa. Rasanya sekarang menyesakkan,
walau hanya sekedar menghirup oksigen yang tidak pantas saya dapatkan ini.”
“Maafkan a-“
Ucapan Jeffery terhenti
setelah ia melihat Aurora menodongkan pistol ke kepalanya sendiri. Hal negative
yang ada dipikiran Jeffery tidak boleh terjadi. Tidak! Aurora tidak boleh
meninggalkannya. Aurora harus selalu berada di sisinya. Jeffery berlari menuju
Aurora guna menghentikan tindakan gila yang akan Aurora lakukan. Namun hal itu
terlambat, setelah ia mendengar bunyi tembakan yang memekakan telinga.
Dorr
Semua berjalan begitu
cepat. Jeffery terlambat. Bumi yang dipijaknya serasa bergetar, duniannya berputar
ketika melihat sang pujaan hati mengakhiri hidupnya sendiri di depan matanya.
Jeffery tidak dapat menggerakan tubuhnya. Tubuhnya kaku, ia masih terpaku
melihat kejadian ini.
Setelah mengembalikan
kewarasannya, Jeffery berlari seperti orang gila ke arah Aurora yang sudah
berlumuran darah di bagian kepala. Ia
melihat ke arah pistol yang digunakan Aurora tadi. Pistol yang dirancang khusus
untuknya dan berisi timah beracun.
“Tidak! Aurora! Kau
tidak boleh meninggalkanku! Aurora bangun! Buka matamu! Arghhhh!” racauan
Jeffery terdengar menyayat hati siapapun yang mendengarnya.
Jeffery segera berlari
membawa Aurora menuju rumah sakit guna mendapatkan perawatan. Ia sedang
meyakinkan dirinya sendiri bahwa Aurora selamat, gadisnya akan kembali padanya.
Namun, itu hanya
harapan semu yang nyatanya tak terkabulkan. Aurora meregang nyawa di perjalanan
menuju rumah sakit. Pendarahan di kepala dan racun di peluru timah berhasil
menghantarkan Aurora pada kematiannya. Bahkan sebelum ia memilih diantara dua
pilihan mustahil, ia sudah kehilangan gadisnya. Aurora meregang kematian atas
pilihannya sendiri yang menurut Jeffery sangat egois, Aurora tidak memikirkan
dirinya.
Aurora-nya, gadis
pujaan hatinya meninggalkannya. Ia meninggalkan Jeffery dengan kesakitan tak
berujung. Ia meninggalkan Jeffery dalam keterpurukan dan jurang kesakitan. Ia
meninggalkan Jeffery dengan luka hati menganga lebar yang tidak akan bisa di
obati hingga ia mati. Jeffery berubah menjadi lebih kejam, bengis dan tak kenal
ampun dalam mengabisi nyawa musuh. Ia terlihat seperti iblis yang haus akan
darah. Karatia mendapatkan masa keemasannya karena kebengisan Jeffery yang
terus menerus melakukan invasi ke berbagai Negara di belahan dunia. Namun ia
tak dapat merasakan apapun, kebahagiaan, kebanggaan, kemarahan, ketakutan,
apapun itu. Sang jenderal besar Jeffery Lewis Osborn terlihat seperti robot
hidup. Raganya memang hidup, namun jiwanya sudah mati bersamaan dengan kematian
sang terkasih, Aurora Pansy.
***