sumber: pinterest.com
“Setiap
aku melihat matahari sore yang sinarnya hangat menenangkan, tidak menyengat
seperti matahari siang, "Aku terbawa ke masa kecilku dulu," Begitulah jawaban
Daya. Dari sekian lama kita berteman, sekian banyak cerita yang Daya ceritakan,
aku mendapat perasaan kuat. Bahwasannya, masa kecil adalah ingatan
atau memori yang paling dalam,
seperti film yang diputar
berulang-ulang kali. Layaknya semua film yang ada sekarang, dia begitu beragam.
Kamu bisa mencari film yang penuh kesenangan sekaligus penuh trauma di mana tokoh
utamanya tersakiti. Bersyukurlah, kalau kamu punya masa kecil indah yang bisa
kamu putar ulang dan masih terasa hangatnya kebahagiaan saat bermain dengan
saudara sepupu atau teman dekat. Masa kanak-kanak
adalah salah satu anugerah Tuhan yang tidak boleh disepelekan. Karena di luar sana ada seseorang
yang tidak bisa menghentikan mimpi buruknya, kenangan
gelap yang terus meneror pikiran,
sebuah trauma yang terus menghantuinya.
Adi dan Daya adalah
saudara kembar. Adi yang laki-laki telah lahir terlebih
dahulu, dua menit kemudian diikuti
oleh Daya yang perempuan. Mereka selalu bersama, mau bagaimana lagi, sembilan
bulan sudah mereka jalani bersama dalam kandungan ibu tercinta, dan lahirnya
pun hampir berbarengan. Entah mengapa, mungkin memang keajaiban Ilahi, hampir
setiap saudara kembar yang aku temui memiliki
semacam telepati? Keterhubungan alam bawah sadar? Aku membayangkan Adi dan Daya hanya saling melihat mata dan raut wajah saja,
tanpa mengucapkan sepatah
kata pun sudah diterima
pesan yang ingin disampaikan. Seperti sinyal tidak terlihat.
Dulu,
keluarganya pindah ke Medan karena ayahnya dimutasi ke cabang Sumatera Utara.
Adi dan Daya baru berumur empat tahun, tidak mungkin ditinggal di kampung
halaman dan terpisah dengan ayahnya. Terbanglah keluarga beranggota empat itu
ke pulau baru yang belum pernah mereka pijak. Rumah dinas yang disiapkan
perusahaan ayah tidak begitu besar, tapi juga tidak terlalu kecil. Ukuran rumah
satu lantai itu pas sekali untuk mereka. Ditambah sebuah taman yang berada di
depan dengan ukuran persegi panjang dan sudah ditanami rumput. Di sebelah kiri,
ada pohon mangga yang masih sedang dan di kanannya tumbuh pohon palem merah
berbatang satu menjulang sekitar tiga meter tingginya. Siapa yang menanam
kombinasi pohon itu tidak diketahui. Walaupun kurang selaras antara pohon mangga yang ramai daunnya dan satu
batang palem yang kurus tinggi, namun taman ini menjadi saksi kebahagiaan dua
saudara kembar, Adi dan Daya.
Kalau matahari sudah menuju lintasan pulangnya setelah seharian menerangi bumi sampai panas, Adi dan Daya minta izin ke ibunya untuk sepedaan. “Ya, tapi jangan kesorean pulangnya. Jangan jauh-jauh juga mainnya, di sekitar blok sini saja.” Begitu pesan ibu diluncurkan, dan Adi mengangguk-angguk paham, keluarlah si Kembar dari gerbang, mengayuh pelan sepeda masing- masing sampai hilang dari penglihatan ibunya. Setiap hari ada agenda baru. Kadang kalau mereka melewati jalan Kenanga yang lurus sepi, makin ngebut mereka. Kaki dipaksa mengayuh sekencang mungkin dengan mentalitas siapa cepat dia menang. Daya tidak mau kalah ketinggalan Adi yang ada sedikit di depannya. Dengan jurus kayuh sambil berdiri, Daya berhasil menang, tapi karena terlalu senang mengalahkan saudaranya, dia tidak melihat kerikil besar tepat berada di depannya. Gubrak! Sepeda Daya lepas kendali dan jatuhlah pengendaranya. Celana panjang Daya bolong di bagian lutut, menampakkan luka berdarah campur tanah. Sesaat Daya meringis kesakitan, lalu dituntun Adi ke keran di samping trotoar sambil membantu membersihkan luka kembarnya.
Kompleks
itu cukup besar, ada swalayan tidak jauh dari blok rumah mereka dan di depan
swalayan tua itu ada taman luas atau bisa dibilang lapangan. Sekelilingnya
dibatasi dengan pepohonan rindang, kayunya tebal sedikit meliuk-liuk ke atas,
dahannya bengkok dipenuhi daun- daun kecil. Pepohonan itu sudah tua, dengan
umur senjanya semakin banyak orang menyukainya. Pedagang kaki lima menjual
berbagai macam jajanan,
ada sekelompok anak-anak berseragam putih yang
sedang latihan karate dipandu pelatihnya, di sisi lain ada yang berbaju
kuning-merah main sepak bola. Warga setempat dan orang tua yang menunggu
menggelar tikar sambil makan lemang dan berbincang-bincang. Adi dan Daya hanya melihat
keramaian itu. Setelah
menemani ibunya belanja, mereka dibiarkan menjelajah
bagian taman yang belum sempat dijamah.
“Daya, lihat ada kodok!” Teriak Adi.
“Di
mana? Di mana?” Daya menengok kanan-kiri, sampai matanya tertuju ke makhluk
yang meloncat ke arah kakinya. Dari belakang, ia dikejar Adi, kemudian dikepung
oleh Daya. Kodok itu melarikan diri dari celah di antara kaki mereka. Kodok itu
beruntung tidak ditangkap si Kembar.
Sehabis
pulang dari taman kanak-kanak dan terlalu capek untuk keluar, mereka main di
teras rumah. Daya lebih senang menunggu kucing yang melesat dari bawah gerbang
dan menjenguk teman baiknya itu. Di elus-elus sampai bulu telonnya rapi bak
disisir. Kalau tidak datang si Kucing,
Daya menggambar dengan
krayon di buku gambar. Sedangkan, Adi lebih senang beraksi. Adi kadang mengajak dua
tetangganya di deretan sebelah kiri untuk main gundu. Tapi lama-kelamaan, gundu punya Adi habis, hilang ke bawah mobil atau jatuh masuk
ke got. Akhirnya, tiga bocah itu main bola di jalan depan
rumah. Saat dua temannya itu sedang tidak
ada, Adi berlatih memanjat pohon palem merah di taman rumah. Lebar
batangnya sebesar cengkeraman tangan Adi, semakin
tinggi batangnya semakin kecil. Melihat kakaknya memanjat berkali-kali, Daya
jadi ikut- ikutan. Saat
seru-serunya bergelantungan, sampai pohon itu miring ke kanan menahan berat Adi
atau Daya, ibu membuka pintu teras dan berkata, “Eh, bahaya, bahaya! Turun
sekarang!” Saudara kembar itu lalu menertawakan reaksi ibunya dan tersenyum jahil.
Dua
tahun kemudian, Adi dan Daya lulus taman kanak-kanak, mereka akan menjadi
peserta didik sekolah dasar kelas satu. Tapi, kenaikan kelas ini bukan perkara
besar, sebab sekolah dasar yang akan mereka masuki tepat di sebelah kiri
sekolah taman kanak-kanaknya. Yang menjadi perkara adalah, Adi dan Daya
mendapat kelas yang berbeda. Sistem sekolah tidak tahu kalau mereka saudara
kembar, dan kalaupun mereka tahu penempatan kelas ini, tetap dilakukan secara
acak. Terpisah, itulah kata ibu kepada Adi dan Daya saat hari pertama kelas
satu SD.
Setelah diantar ayahnya sampai gerbang sekolah, si Kembar berjalan menyusuri lorong lantai pertama yang penuh dengan orang tua murid dan anaknya bersiliweran. Saat sampai pintu kelas 1A, Daya mengangkat telapak tangannya sambil menyunggingkan senyum kepada Adi. Adi membalas dengan lambaian tangan penuh semangat dan mengucapkan, “Dadah!” Walaupun kelas Adi ada di 1C, hanya selang satu ruang kelas, tetapi Adi harus berjalan cukup jauh. Dan tanpa disadari oleh Daya atau Adi, ruang kelas yang mereka tempati sebenarnya sangat besar untuk pelajar kelas satu. Meja dan kursinya pun sedikit kebesaran untuk rata-rata ukuran tubuh mereka. Hal ini dikarenakan, bangunan sekolah yang mereka tempati juga akan digunakan sebagai ruang kelas mahasiswa/i. Dari pagi sampai sore bangunan krem itu berfungsi sebagai SD dan SMP, lalu malamnya berubah menjadi ruang kelas tambahan universitas setempat.
Seminggu
setelah penerimaan murid baru, pihak sekolah menawarkan program kelas tambahan
untuk mata pelajaran tertentu. Tentunya, hal ini diputuskan oleh orang tua
masing-masing, dan keputusan orang tua Adi dan Daya adalah mendaftarkan Adi di
kelas tambahan matematika dan Daya di kelas tambahan Bahasa Inggris. Daya
sangat senang dengan pilihannya, selain bertemu teman
baru, ia juga dibebaskan untuk berbicara secara
nyaman yang biasanya
tidak bisa Daya lakukan
tanpa dorongan tertentu.
Ibunya mencurigai hal ini disebabkan kepercayaan diri Daya
rendah. Daya memang secara natural anak pendiam, perasaan dan
pikiran-pikirannya dipendam sendiri di kepala kecilnya. Lain hal dengan
saudaranya. Adi adalah anak yang penuh semangat, girang, dan mudah berteman.
Saat bermain atau sedang belajar Adi lakukan dengan antusiasme tinggi,
seakan-akan wajahnya memancarkan sinar matahari. Namun, ada saatnya ketika
pancaran itu hilang dari wajah Adi, bahkan dari sorot matanya saja sudah
terlihat tidak ada lagi semangat dalam hatinya.
Yaitu, ketika
guru matematika Adi, Bu Yatini,
jatuh sakit karena umurnya sudah renta. Atas permintaannya, Bu Yatini
dipensiunkan. Sewaktu upacara bendera, bapak Wakil Kepala Sekolah mengenalkan guru baru di tengah podium.
Namanya Bu Ida, tubuhnya besar,
tinggi, dan posturnya tegap seperti tantara. Raut
wajahnya datar tanpa senyuman, kepalanya terpaku lurus ke depan dengan mata
menatap tajam. Ia tidak kelihatan marah, tetapi serius. Seperti ada hal yang
mengganggunya.
Bu
Ida tidak mengajar kelas Daya ataupun kelas Adi. Ia ditugaskan untuk mengajar
matematika sekolah menengah pertama dan kelas tambahan matematika lainnya.
Untuk kelas satu hanya ada kelas
tambahan seminggu sekali di hari Rabu jam dua sampai jam empat. Setelah pramuka
selesai, semua murid kelas satu beristirahat di kantin selama satu jam.
Beberapa salat zuhur di musholla sekolah, di kedai soto ada orang tua murid
yang menyuapkan makanan ke anaknya, sedangkan Daya dan Adi menghabiskan bekal buatan ibunya
sembari selonjoran di lorong
lantai pertama.
Kelas
tambahan Daya lumayan sepi, rupanya dari angkatannya tidak banyak yang minat
belajar bahasa Inggris. Kebanyakan memilih bahasa Indonesia, matematika, atau
IPA. Di kelas tambahan Adi malah ramai, ada 20-an murid yang duduk anteng
menunggu guru sembari menyiapkan buku dan alat tulis. Bu Ida lah yang masuk ke
ruangan Adi, figur besarnya itu sedikit mengejutkan murid-murid. Ditambah,
tingginya yang kira-kira mencapai 175 cm dan badan gempalnya membuat dia
seperti raksasa di samping murid kelas satu. Daya tidak menceritakan secara
detail pengajaran di dalam kelas itu, namun dia pernah mengintip dari jendela
kelas dan melihat sesuatu yang tidak lazim.
Setelah kelas tambahan Daya selesai, dan peserta didik kelas satu berhamburan keluar ingin cepat-cepat pulang, Daya tidak melihat wajah Adi. “Mungkin kelasnya belum selesai,” pikir Daya. Sambil menunggu kembarnya, Daya menaruh ransel di bangku lorong lalu bermain dengan temannya yang belum pulang. Mereka bermain kejar-kejaran. Saking serunya berlarian, Daya pernah menabrak kakak kelas dan bahkan sampai kesasar di lantai tiga. Lalu, mereka mencari jajanan di kantin dan menjelajahi seluk-beluk bangunan sekolah itu. Baru 30 menit kemudian, sekitar jam setengah lima, Adi keluar dari kelasnya. Mungkin karena terlalu capek, Adi memilih untuk tidak membicarakan kegiatannya, dan Daya pun terlalu letih karena bermain, akhirnya mereka pulang dalam keheningan. Sejak mereka menjalani kelas tambahan masing-masing, tanpa disadari, Adi dan Daya mulai menjauh. Mereka tidak bermain bersama-sama lagi, jarang berbicara. Terutama Adi, dia memilih mengurung diri di kamarnya dengan alasan mau menyelesaikan tugas sekolah. Kalaupun keluar dari kamarnya, dia memilih untuk hanya duduk di teras depan. Dia tidak aktif lagi, tidak suka beraksi, dan ibunya pikir itu karena masa peralihan anak-anak. Padahal tidak, bukan itu yang terjadi.
Suatu
hari setelah kelas tambahannya selesai, Daya menemukan dirinya sendirian. Daya
menunggu di bangku lorong. Menatap lapangan yang disinari matahari sore.
Sinarnya berpantulan di ubin keramik sekolah.
Daya baru sadar
kalau dia belum pernah mencari
tahu mengapa Adi selalu
keluar terakhir. Pintu kayu kelas 1C tertutup rapat, jendelanya ditutupi tirai
hijau tua dan terasa udara dingin AC keluar dari bagian bawah
pintu. Daya mencoba
mengintip dari celah tirai. Semua kursi sudah dinaikkan ke atas meja
dan yang mengherankan hanya ada Bu Ida di meja guru dan Adi. Terlihat
Adi sedang menulis
jawaban soal di papan tulis. Namun, tiba-tiba Bu Ida bangkit
dari kursinya sambil memegang
penggaris kayu. Dia mengambil langkah
besar ke arah Adi, lalu, “Pak!”
lengan atas Adi dipukul dengan keras. Melihat kejadian itu Daya tersontak
kaget. “Ada apa ini?” Daya bergumam.
Baru pertama kali ini, di usia enam tahun, Daya menyaksikan kekerasan.
Minggu berikutnya hal ini terjadi
lagi. Daya mengintip
dari jendela dan adegan itu terulang.
Lengan kanan dan kiri Adi dipukul dengan
penggaris kayu, kadang
ditampar dengan tangan
kosong Bu Ida. Adegan itu seperti seorang petarung yang menemukan karung
tinju favoritnya dan terus meninju. Setiap kali Daya melihat tangan Bu Ida
berayun kencang, dia membeku. Segala macam pikiran berkecamuk di kepalanya.
Kali kedua, itu Bu Ida bertindak lebih ekstrem. Lengan atas Adi dicengkeram
dengan kuat sambil menunjuk-nunjuk papan tulis. Lalu, kaki Adi ditendangnya
dari belakang, membuatnya langsung terjatuh. Daya tidak tahan melihat sauadara
kembarnya diperlakukan seperti itu, tetapi entah mengapa tubuhnya tidak bisa digerakkan. Hari itu Adi
keluar dari kelasnya dengan sedikit pincang. Daya memandangi Adi yang jalan
lebih dulu dengan khawatir. Bu Ida belum keluar
dari ruang kelas. Baru pada hari itu, Daya tersadarkan atas apa yang tengah terjadi.
Sesampainya di rumah, ibu melihat jalan Adi yang pincang. “Adi, kakimu kenapa?” Tanya Ibu. Diam, Adi tidak menjawab. Lalu, Ibu menghampiri Adi dan menempatkan punggung tangannya di kening anaknya. Terasa panas sekali kepala Adi seperti sedang demam. Ibu membantu Adi siap-siap mandi. Dan pada saat itulah Ibunya melihat sesuatu yang begitu menyeramkan. Lengan atas Adi penuh dengan lebam, sebagian ungu-kehitaman, sebagian lagi merah, dan membengkak. Kakinya memar bekas ditendang. Semakin banyak pertanyaan yang dilontarkan ibu, semakin dalam kepala Adi ditundukkan. Ibu memeluk anaknya yang penuh luka itu dengan lembut. Adi pun terkulai lemah di rangkulan ibunya.
“Daya,
kamu tahu siapa yang melakukan ini? Siapa yang menyakiti sauadaramu? Jawab,
Nak.” Daya baru pertama
kali melihat wajah
ibunya begitu khawatir
bercampur amarah. Ibu bertanya lagi dengan suara bergetar. Daya menatap
mata ibunya yang berkaca-kaca. Air mata Daya pun sudah mulai meluap.
“Adi….dipukul
Bu Ida,” Daya menjawab dengan tersendat, air matanya pun berlinang. Malam itu, ayah dan ibu tidak
bisa tidur. Keduanya
tidak habis pikir
bagaimana seorang guru dapat
menyakiti anak didiknya.
Pagi
sekali ibu sampai di sekolah dan menunggu di depan ruang Kepsek. Kemudian, Adi
dan ibu masuk ke dalam
ruang kepala sekolah.
Tak lama Daya dipanggil dan diminta menceritakan apa yang ia lihat. Setelah
memberikan kesaksiannya, Daya kembali duduk di bangku lorong. Gantian bapak
wakil kepala sekolah
yang keluar, menghela
napas, lalu beranjak
jalan ke arah yang
berlawanan. Beberapa menit kemudian, Bu Ida dituntun
masuk ke ruang Kepsek. Selama
beberapa detik, Daya dapat melihat wajah Bu Ida secara dekat. Raut
wajahnya marah, beringas. Matanya keruh dengan semburat merah, seperti
seseorang yang kerjaannya hanya marah-marah. Langkahnya tegas meninggalkan hawa
panas yang jahat. Setelah Bu Ida masuk, Daya spontan menutup telinga karena
mendengar teriakan ibunya yang begitu pedih.
Keesokannya, Adi dirawat di rumah sakit, sementara Daya bersekolah seperti biasa. Saat jam istirahat, banyak orang berkerumunan di gerbang depan. Daya menyelinap dan melihat tangan Bu Ida diborgol ke belakang, samping kanan kirinya dijaga polisi. Rupanya mereka menunggu sesuatu. Suara sirene mendekat. Bu Ida lalu dijemput oleh ambulans rumah sakit jiwa.
Kisah ini selalu mengingatkanku bahwa dunia ini tidak selalu indah. Kekerasan itu nyata dan ada di orang-orang terdekatmu.