Adi dan Daya

 

                     sumber: pinterest.com

oleh: Bahira Berliani, Peserta Didik SMAN 34 Jakarta

    “Setiap aku melihat matahari sore yang sinarnya hangat menenangkan, tidak menyengat seperti matahari siang, "Aku terbawa ke masa kecilku dulu," Begitulah jawaban Daya. Dari sekian lama kita berteman, sekian banyak cerita yang Daya ceritakan, aku mendapat perasaan kuat. Bahwasannya, masa kecil adalah ingatan atau memori yang paling dalam, seperti film yang diputar berulang-ulang kali. Layaknya semua film yang ada sekarang, dia begitu beragam. Kamu bisa mencari film yang penuh kesenangan sekaligus penuh trauma di mana tokoh utamanya tersakiti. Bersyukurlah, kalau kamu punya masa kecil indah yang bisa kamu putar ulang dan masih terasa hangatnya kebahagiaan saat bermain dengan saudara sepupu atau teman dekat. Masa kanak-kanak adalah salah satu anugerah Tuhan yang tidak boleh disepelekan. Karena di luar sana ada seseorang yang tidak bisa menghentikan mimpi buruknya, kenangan gelap yang terus meneror pikiran, sebuah trauma yang terus menghantuinya.

Adi dan Daya adalah saudara kembar. Adi yang laki-laki telah lahir terlebih dahulu, dua menit kemudian diikuti oleh Daya yang perempuan. Mereka selalu bersama, mau bagaimana lagi, sembilan bulan sudah mereka jalani bersama dalam kandungan ibu tercinta, dan lahirnya pun hampir berbarengan. Entah mengapa, mungkin memang keajaiban Ilahi, hampir setiap saudara kembar yang aku temui memiliki semacam telepati? Keterhubungan alam bawah sadar? Aku membayangkan Adi dan Daya hanya saling melihat mata dan raut wajah saja, tanpa mengucapkan sepatah kata pun sudah diterima pesan yang ingin disampaikan. Seperti sinyal tidak terlihat.

Dulu, keluarganya pindah ke Medan karena ayahnya dimutasi ke cabang Sumatera Utara. Adi dan Daya baru berumur empat tahun, tidak mungkin ditinggal di kampung halaman dan terpisah dengan ayahnya. Terbanglah keluarga beranggota empat itu ke pulau baru yang belum pernah mereka pijak. Rumah dinas yang disiapkan perusahaan ayah tidak begitu besar, tapi juga tidak terlalu kecil. Ukuran rumah satu lantai itu pas sekali untuk mereka. Ditambah sebuah taman yang berada di depan dengan ukuran persegi panjang dan sudah ditanami rumput. Di sebelah kiri, ada pohon mangga yang masih sedang dan di kanannya tumbuh pohon palem merah berbatang satu menjulang sekitar tiga meter tingginya. Siapa yang menanam kombinasi pohon itu tidak diketahui. Walaupun kurang selaras antara pohon mangga yang ramai daunnya dan satu batang palem yang kurus tinggi, namun taman ini menjadi saksi kebahagiaan dua saudara kembar, Adi dan Daya.

Kalau matahari sudah menuju lintasan pulangnya setelah seharian menerangi bumi sampai panas, Adi dan Daya minta izin ke ibunya untuk sepedaan. “Ya, tapi jangan kesorean pulangnya. Jangan jauh-jauh juga mainnya, di sekitar blok sini saja.” Begitu pesan ibu diluncurkan, dan Adi mengangguk-angguk paham, keluarlah si Kembar dari gerbang, mengayuh pelan sepeda masing- masing sampai hilang dari penglihatan ibunya. Setiap hari ada agenda baru. Kadang kalau mereka melewati jalan Kenanga yang lurus sepi, makin ngebut mereka. Kaki dipaksa mengayuh sekencang mungkin dengan mentalitas siapa cepat dia menang. Daya tidak mau kalah ketinggalan Adi yang ada sedikit di depannya. Dengan jurus kayuh sambil berdiri, Daya berhasil menang, tapi karena terlalu senang mengalahkan saudaranya, dia tidak melihat kerikil besar tepat berada di depannya. Gubrak! Sepeda Daya lepas kendali dan jatuhlah pengendaranya. Celana panjang Daya bolong di bagian lutut, menampakkan luka berdarah campur tanah. Sesaat Daya meringis kesakitan, lalu dituntun Adi ke keran di samping trotoar sambil membantu membersihkan luka kembarnya.

Kompleks itu cukup besar, ada swalayan tidak jauh dari blok rumah mereka dan di depan swalayan tua itu ada taman luas atau bisa dibilang lapangan. Sekelilingnya dibatasi dengan pepohonan rindang, kayunya tebal sedikit meliuk-liuk ke atas, dahannya bengkok dipenuhi daun- daun kecil. Pepohonan itu sudah tua, dengan umur senjanya semakin banyak orang menyukainya. Pedagang kaki lima menjual berbagai macam jajanan, ada sekelompok anak-anak berseragam putih yang sedang latihan karate dipandu pelatihnya, di sisi lain ada yang berbaju kuning-merah main sepak bola. Warga setempat dan orang tua yang menunggu menggelar tikar sambil makan lemang dan berbincang-bincang. Adi dan Daya hanya melihat keramaian itu. Setelah menemani ibunya belanja, mereka dibiarkan menjelajah bagian taman yang belum sempat dijamah.

“Daya, lihat ada kodok!” Teriak Adi.

“Di mana? Di mana?” Daya menengok kanan-kiri, sampai matanya tertuju ke makhluk yang meloncat ke arah kakinya. Dari belakang, ia dikejar Adi, kemudian dikepung oleh Daya. Kodok itu melarikan diri dari celah di antara kaki mereka. Kodok itu beruntung tidak ditangkap si Kembar.

Sehabis pulang dari taman kanak-kanak dan terlalu capek untuk keluar, mereka main di teras rumah. Daya lebih senang menunggu kucing yang melesat dari bawah gerbang dan menjenguk teman baiknya itu. Di elus-elus sampai bulu telonnya rapi bak disisir. Kalau tidak datang si Kucing, Daya menggambar dengan krayon di buku gambar. Sedangkan, Adi lebih senang beraksi. Adi kadang mengajak dua tetangganya di deretan sebelah kiri untuk main gundu. Tapi lama-kelamaan, gundu punya Adi habis, hilang ke bawah mobil atau jatuh masuk ke got. Akhirnya, tiga bocah itu main bola di jalan depan rumah. Saat dua temannya itu sedang tidak ada, Adi berlatih memanjat pohon palem merah di taman rumah. Lebar batangnya sebesar cengkeraman tangan Adi, semakin tinggi batangnya semakin kecil. Melihat kakaknya memanjat berkali-kali, Daya jadi ikut- ikutan. Saat seru-serunya bergelantungan, sampai pohon itu miring ke kanan menahan berat Adi atau Daya, ibu membuka pintu teras dan berkata, “Eh, bahaya, bahaya! Turun sekarang!” Saudara kembar itu lalu menertawakan reaksi ibunya dan tersenyum jahil.

Dua tahun kemudian, Adi dan Daya lulus taman kanak-kanak, mereka akan menjadi peserta didik sekolah dasar kelas satu. Tapi, kenaikan kelas ini bukan perkara besar, sebab sekolah dasar yang akan mereka masuki tepat di sebelah kiri sekolah taman kanak-kanaknya. Yang menjadi perkara adalah, Adi dan Daya mendapat kelas yang berbeda. Sistem sekolah tidak tahu kalau mereka saudara kembar, dan kalaupun mereka tahu penempatan kelas ini, tetap dilakukan secara acak. Terpisah, itulah kata ibu kepada Adi dan Daya saat hari pertama kelas satu SD.

Setelah diantar ayahnya sampai gerbang sekolah, si Kembar berjalan menyusuri lorong lantai pertama yang penuh dengan orang tua murid dan anaknya bersiliweran. Saat sampai pintu kelas 1A, Daya mengangkat telapak tangannya sambil menyunggingkan senyum kepada Adi. Adi membalas dengan lambaian tangan penuh semangat dan mengucapkan, “Dadah!” Walaupun kelas Adi ada di 1C, hanya selang satu ruang kelas, tetapi Adi harus berjalan cukup jauh. Dan tanpa disadari oleh Daya atau Adi, ruang kelas yang mereka tempati sebenarnya sangat besar untuk pelajar kelas satu. Meja dan kursinya pun sedikit kebesaran untuk rata-rata ukuran tubuh mereka. Hal ini dikarenakan, bangunan sekolah yang mereka tempati juga akan digunakan sebagai ruang kelas mahasiswa/i. Dari pagi sampai sore bangunan krem itu berfungsi sebagai SD dan SMP, lalu malamnya berubah menjadi ruang kelas tambahan universitas setempat.

Seminggu setelah penerimaan murid baru, pihak sekolah menawarkan program kelas tambahan untuk mata pelajaran tertentu. Tentunya, hal ini diputuskan oleh orang tua masing-masing, dan keputusan orang tua Adi dan Daya adalah mendaftarkan Adi di kelas tambahan matematika dan Daya di kelas tambahan Bahasa Inggris. Daya sangat senang dengan pilihannya, selain bertemu teman baru, ia juga dibebaskan untuk berbicara secara nyaman yang biasanya tidak bisa Daya lakukan tanpa dorongan tertentu. Ibunya mencurigai hal ini disebabkan kepercayaan diri Daya rendah. Daya memang secara natural anak pendiam, perasaan dan pikiran-pikirannya dipendam sendiri di kepala kecilnya. Lain hal dengan saudaranya. Adi adalah anak yang penuh semangat, girang, dan mudah berteman. Saat bermain atau sedang belajar Adi lakukan dengan antusiasme tinggi, seakan-akan wajahnya memancarkan sinar matahari. Namun, ada saatnya ketika pancaran itu hilang dari wajah Adi, bahkan dari sorot matanya saja sudah terlihat tidak ada lagi semangat dalam hatinya.

Yaitu, ketika guru matematika Adi, Bu Yatini, jatuh sakit karena umurnya sudah renta. Atas permintaannya, Bu Yatini dipensiunkan. Sewaktu upacara bendera, bapak Wakil Kepala Sekolah mengenalkan guru baru di tengah podium. Namanya Bu Ida, tubuhnya besar, tinggi, dan posturnya tegap seperti tantara. Raut wajahnya datar tanpa senyuman, kepalanya terpaku lurus ke depan dengan mata menatap tajam. Ia tidak kelihatan marah, tetapi serius. Seperti ada hal yang mengganggunya.

Bu Ida tidak mengajar kelas Daya ataupun kelas Adi. Ia ditugaskan untuk mengajar matematika sekolah menengah pertama dan kelas tambahan matematika lainnya. Untuk kelas satu hanya ada kelas tambahan seminggu sekali di hari Rabu jam dua sampai jam empat. Setelah pramuka selesai, semua murid kelas satu beristirahat di kantin selama satu jam. Beberapa salat zuhur di musholla sekolah, di kedai soto ada orang tua murid yang menyuapkan makanan ke anaknya, sedangkan Daya dan Adi menghabiskan bekal buatan ibunya sembari selonjoran di lorong lantai pertama.

Kelas tambahan Daya lumayan sepi, rupanya dari angkatannya tidak banyak yang minat belajar bahasa Inggris. Kebanyakan memilih bahasa Indonesia, matematika, atau IPA. Di kelas tambahan Adi malah ramai, ada 20-an murid yang duduk anteng menunggu guru sembari menyiapkan buku dan alat tulis. Bu Ida lah yang masuk ke ruangan Adi, figur besarnya itu sedikit mengejutkan murid-murid. Ditambah, tingginya yang kira-kira mencapai 175 cm dan badan gempalnya membuat dia seperti raksasa di samping murid kelas satu. Daya tidak menceritakan secara detail pengajaran di dalam kelas itu, namun dia pernah mengintip dari jendela kelas dan melihat sesuatu yang tidak lazim.

Setelah kelas tambahan Daya selesai, dan peserta didik kelas satu berhamburan keluar ingin cepat-cepat pulang, Daya tidak melihat wajah Adi. Mungkin kelasnya belum selesai,” pikir Daya. Sambil menunggu kembarnya, Daya menaruh ransel di bangku lorong lalu bermain dengan temannya yang belum pulang. Mereka bermain kejar-kejaran. Saking serunya berlarian, Daya pernah menabrak kakak kelas dan bahkan sampai kesasar di lantai tiga. Lalu, mereka mencari jajanan di kantin dan menjelajahi seluk-beluk bangunan sekolah itu. Baru 30 menit kemudian, sekitar jam setengah lima, Adi keluar dari kelasnya. Mungkin karena terlalu capek, Adi memilih untuk tidak membicarakan kegiatannya, dan Daya pun terlalu letih karena bermain, akhirnya mereka pulang dalam keheningan. Sejak mereka menjalani kelas tambahan masing-masing, tanpa disadari, Adi dan Daya mulai menjauh. Mereka tidak bermain bersama-sama lagi, jarang berbicara. Terutama Adi, dia memilih mengurung diri di kamarnya dengan alasan mau menyelesaikan tugas sekolah. Kalaupun keluar dari kamarnya, dia memilih untuk hanya duduk di teras depan. Dia tidak aktif lagi, tidak suka beraksi, dan ibunya pikir itu karena masa peralihan anak-anak. Padahal tidak, bukan itu yang terjadi.

Suatu hari setelah kelas tambahannya selesai, Daya menemukan dirinya sendirian. Daya menunggu di bangku lorong. Menatap lapangan yang disinari matahari sore. Sinarnya berpantulan di ubin keramik sekolah. Daya baru sadar kalau dia belum pernah mencari tahu mengapa Adi selalu keluar terakhir. Pintu kayu kelas 1C tertutup rapat, jendelanya ditutupi tirai hijau tua dan terasa udara dingin AC keluar dari bagian bawah pintu. Daya mencoba mengintip dari celah tirai. Semua kursi sudah dinaikkan ke atas meja dan yang mengherankan hanya ada Bu Ida di meja guru dan Adi. Terlihat Adi sedang menulis jawaban soal di papan tulis. Namun, tiba-tiba Bu Ida bangkit dari kursinya sambil memegang penggaris kayu. Dia mengambil langkah besar ke arah Adi, lalu, “Pak!” lengan atas Adi dipukul dengan keras. Melihat kejadian itu Daya tersontak kaget. “Ada apa ini?” Daya bergumam. Baru pertama kali ini, di usia enam tahun, Daya menyaksikan kekerasan.

Minggu berikutnya hal ini terjadi lagi. Daya mengintip dari jendela dan adegan itu terulang. Lengan kanan dan kiri Adi dipukul dengan penggaris kayu, kadang ditampar dengan tangan kosong Bu Ida. Adegan itu seperti seorang petarung yang menemukan karung tinju favoritnya dan terus meninju. Setiap kali Daya melihat tangan Bu Ida berayun kencang, dia membeku. Segala macam pikiran berkecamuk di kepalanya. Kali kedua, itu Bu Ida bertindak lebih ekstrem. Lengan atas Adi dicengkeram dengan kuat sambil menunjuk-nunjuk papan tulis. Lalu, kaki Adi ditendangnya dari belakang, membuatnya langsung terjatuh. Daya tidak tahan melihat sauadara kembarnya diperlakukan seperti itu, tetapi entah mengapa tubuhnya tidak bisa digerakkan. Hari itu Adi keluar dari kelasnya dengan sedikit pincang. Daya memandangi Adi yang jalan lebih dulu dengan khawatir. Bu Ida belum keluar dari ruang kelas. Baru pada hari itu, Daya tersadarkan atas apa yang tengah terjadi.

Sesampainya di rumah, ibu melihat jalan Adi yang pincang. “Adi, kakimu kenapa?” Tanya Ibu. Diam, Adi tidak menjawab. Lalu, Ibu menghampiri Adi dan menempatkan punggung tangannya di kening anaknya. Terasa panas sekali kepala Adi seperti sedang demam. Ibu membantu Adi siap-siap mandi. Dan pada saat itulah Ibunya melihat sesuatu yang begitu menyeramkan. Lengan atas Adi penuh dengan lebam, sebagian ungu-kehitaman, sebagian lagi merah, dan membengkak. Kakinya memar bekas ditendang. Semakin banyak pertanyaan yang dilontarkan ibu, semakin dalam kepala Adi ditundukkan. Ibu memeluk anaknya yang penuh luka itu dengan lembut. Adi pun terkulai lemah di rangkulan ibunya.

“Daya, kamu tahu siapa yang melakukan ini? Siapa yang menyakiti sauadaramu? Jawab, Nak.” Daya baru pertama kali melihat wajah ibunya begitu khawatir bercampur amarah. Ibu bertanya lagi dengan suara bergetar. Daya menatap mata ibunya yang berkaca-kaca. Air mata Daya pun sudah mulai meluap.

“Adi….dipukul Bu Ida,” Daya menjawab dengan tersendat, air matanya pun berlinang. Malam itu, ayah dan ibu tidak bisa tidur. Keduanya tidak habis pikir bagaimana seorang guru dapat menyakiti anak didiknya.

Pagi sekali ibu sampai di sekolah dan menunggu di depan ruang Kepsek. Kemudian, Adi dan ibu masuk ke dalam ruang kepala sekolah. Tak lama Daya dipanggil dan diminta menceritakan apa yang ia lihat. Setelah memberikan kesaksiannya, Daya kembali duduk di bangku lorong. Gantian bapak wakil kepala sekolah yang keluar, menghela napas, lalu beranjak jalan ke arah yang berlawanan. Beberapa menit kemudian, Bu Ida dituntun masuk ke ruang Kepsek. Selama beberapa detik, Daya dapat melihat wajah Bu Ida secara dekat. Raut wajahnya marah, beringas. Matanya keruh dengan semburat merah, seperti seseorang yang kerjaannya hanya marah-marah. Langkahnya tegas meninggalkan hawa panas yang jahat. Setelah Bu Ida masuk, Daya spontan menutup telinga karena mendengar teriakan ibunya yang begitu pedih.

Keesokannya, Adi dirawat di rumah sakit, sementara Daya bersekolah seperti biasa. Saat jam istirahat, banyak orang berkerumunan di gerbang depan. Daya menyelinap dan melihat tangan Bu Ida diborgol ke belakang, samping kanan kirinya dijaga polisi. Rupanya mereka menunggu sesuatu. Suara sirene mendekat. Bu Ida lalu dijemput oleh ambulans rumah sakit jiwa.

Kisah ini selalu mengingatkanku bahwa dunia ini tidak selalu indah. Kekerasan itu nyata dan ada di orang-orang terdekatmu.

Adi dan Daya