sumber: http://clipart-library.com/
oleh: Shafa Muttahara, Peserta Didik SMAN 34 Jakarta
Angka
penularan HIV (Human Imunodificiency
Virus) tidak hanya meningkat pada ibu rumah tangga. Tren ini juga cenderung
naik pada populasi LSL (lelaki seks lelaki) atau gay. Padahal, pada tahun
sebelumnya, angka kasus HIV pada kelompok tersebut dilaporkan rendah. "Yang menjadi
perhatian adalah populasi LSL. Jadi, diperkirakan akan terjadi peningkatan
kasus pada ibu rumah tangga dan populasi LSL," sebut Ketua Umum Kelompok
Studi Infeksi Menular Seksual Indonesia Hanny Nilasari, saat dijumpai pada Temu
Media Kementerian Kesehatan, Rabu (27/11/2019).
Menurut Hanny, terjadi pergeseran kalangan yang terinfeksi HIV sejak
tahun 2000. Saat awal kemunculan HIV, populasi terbanyak pengidap HIV adalah
pelanggan waria, pelanggan wanita pekerja seks dan pengguna narkoba jarum
suntik.
Namun sejak tahun 2005 sampai saat ini, terjadi peningkatan kasus yang
cukup signifikan di kalangan ibu rumah tangga dan kelompok LSL.
Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan di kelompok ibu rumah
tangga, terdapat 16.884 orang yang tercatat mengidap HIV. Sementara LSL, dari
tahun 2010 hingga Juni 2019, jumlah pengidap HIV sebanyak 53.082 orang.
"Padahal pada saat awal populasi pengidap HIV terbanyak adalah pada
pelanggan waria, wps (wanita pekerja seks), dan populasi risiko tinggi,"
paparnya. (https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4801459/kasus-hiv-meningkat-di-kalangan-gay-dan-ibu-rumah-tangga)
Satu dari pelbagai berita yang mengangkat dampak dari maraknya fenomena
LGBT, wabilkhusus di Indonesia. Memang, masih menjadi sebuah perdebatan, perang
sains, sosial, ataupun displin ilmu lainnya mengenai apakah LGBT ini benar
adanya sebagai faktor dari peningkatan penyakit tular HIV, sebagai biang keladi
dari segala keresahan sosial masyarakat, atau kalau dari perspektif biologis,
apa benar ini adalah penyakit atau memang pemberian begitu saja atau given?
Pertama-tama, yang harus
diketahui adalah arti LGBT itu sendiri, yaitu Lesbian, Gay, Transgender, dan Bisexual. Lesbian, tertarik antar sesama jenis bagi kaum perempuan. Gay, tertarik antar sesama jenis kaum laki-laki. Transgender, mengubah jenis kelamin (wanita-pria/pria-wanita ).
Bisexual, saat seseorang tertarik secara seksual ataupun emosional kepada pada perempuan atau atau laki-laki.
Pada saat ini, fenomena lesbian, gay, transgender, dan bisexual atau lebih dikenal dengan singkatan (LGBT), menjadi isu yang banyak diperbincangkan di tengah masyarakat Indonesia dengan maraknya promosi atau iklan kaum LGBT di pelbagai kanal media sosial. Propaganda perekrutan oleh kaum LGBT telah menyentuh berbagai media sosial, bahkan kelompok LGBT juga sudah menjalar ke kampus, sekolah, dan tempat umum lainnya. Berbagai lembaga survei independen dalam dan luar negeri menyebutkan, bahwa di Indonesia ada 3% kaum LGBT dari total penduduknya. Maraknya fenomena LGBT di Indonesia sangat terkait dengan tren negara-negara liberal yang memberikan pengakuan dan tempat bagi komunitas LGBT di masyarakat dan semakin berkembangnya teknologi modern di zaman sekarang.
LGBT dianggap sebagai
bagian life style masyarakat modern
yang menganggap pandangan heteroseksualitas sebagai konservatif dan tidak
berlaku bagi semua orang. Legitimasi sosial muncul dengan pembelaan ilmiah dan
teologis secara apriori guna memperkuat klaim tentang eksistensi maupun tujuan
sosial mereka. Situasi itulah yang kemudian membuat gerakan LGBT menyebar
demikian pesat sebagai epidemi sosial.
Fenomena
LGBT di Indonesia, diklasifikasikan kepada dua entitas yang berbeda yaitu:
LGBT entitas pertama, adalah bahwa LGBT termasuk “penyakit” gangguan jiwa, atau penyimpangan orientasi seksual, yang melekat (dimiliki) seseorang sebagai individu. Penyakit tersebut disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor biologis dan sosiologis, dan bisa menular kepada orang lain. Pada level entitas pertama ini, LGBT dibagi kepada dua identitas; pertama adalah mereka yang menutupi diri (menyembunyikan) identitasnya sebagai LGBT sehingga tidak ada orang lain (di luar dirinya) yang mengetahui. Identitas yang kedua, adalah mereka yang yang berani out come (membuka identitasnya) kepada orang lain dan mengharap bantuan orang lain (di luar dirinya) untuk membantu menyembuhkannya. Adapun LGBT entitas yang kedua adalah LGBT sebagai sebuah komunitas, atau kelompok, atau dapat juga disebut Organisasi, yang memiliki Visi, Misi, dan aktivitas atau gerakan (movement) tertentu. Padal level entitas kedua inilah, yang sekarang marak menjadi perdebatan di tengah masyarakat Indonesia, apakah gerakan kelompok LGBT itu dapat dilegalkan atau tidak.
Perspektif dalam Islam mengenai LGBT
Hukuman
bunuh bagi pelaku sodomi menurut pendapat Ibnu Qayyim, sudah sesuai dengan
hukum Allah. Karena semakin besar perbuatan yang diharamkan maka semakin berat
pula hukumannya, dalam hal ini persetubuhan yang tidak dibolehkan sama sekali
lebih besar dosanya dari persetubuhan yang diperbolehkan dalam kondisi
tertentu, oleh karena itu hukumannya harus diperberat.
Dalam
Fatwa MUI Nomor 57 Tahun 2014 tentang lesbian, gay, sodomi, dan pencabulan,
dengan tegas MUI memfatwakan bahwa pelaku sodomi (liwāṭ) baik lesbian maupun
gay hukumnya adalah haram dan merupakan bentuk kejahatan, dikenakan hukuman
ta'zīr yang tingkat hukumannya bisa maksimal yaitu sampai pada hukuman mati.
Demikian juga dalam hal korban dari kejahatan (jarīmah) homoseksual, sodomi,
dan pencabulan adalah anak-anak, pelakunya juga dikenakan pemberatan hukuman
hingga hukuman mati.
Adapun
yang terkait dengan transgender, atau yang banyak dikenal dengan operasi
kelamin, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional II Tahun
1980, telah mengeluarkan Fatwa tentang Operasi Perubahan/Penyempurnaan
kelamin. Dalam fatwa tersebut ada 3 hal yang diputuskan yaitu:
Merubah
jenis kelamin laki laki menjadi perempuan atau sebaliknya hukumnya haram,
karena bertentangan dengan al-Qur’an surat an-Nisā’ ayat 19 dan bertentangan
pula dengan jiwa syara’, orang yang kelaminnya diganti kedudukan hukum jenis kelaminnya sama
dengan jenis kelamin semula sebelum diubah, seorang khunthā (banci) yang kelaki-lakiannya lebih jelas boleh
disempurnakan kelaki-lakiannya. Demikian pula sebaliknya, dan hukumnya menjadi
positif (laki-laki).
Perspektif dalam HAM mengenai LGBT
Dalam
sistem hukum di Indonesia, sebagaimana terdapat dalam UUD 1945 dinyatakan “hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam situasi apa
pun”, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam DUHAM Pasal 2, 7 dan 22.
Komnas HAM, Natalius Pigai mengatakan negara mempunyai kewajiban melindungi rakyat warga negara Indonesia apapun jenisnya, suku, agama, ras, etnik, atau kaum minoritas dan kelompok rentan (maksudnya rentan dari kekerasan). Negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hak asasi semua warga negara Indonesia tanpa membedakan suku, agama, termasuk kaum minoritas dan kelompok rentan termasuk LGBT.
Adapun perlindungan, yang harus dijamin dan diberikan
dalam kenteks LGBT ini dari perspektif HAM adalah perlindungan hak asasi mereka
dalam bentuk jaminan kesehatan untuk bisa sembuh dari penyakitnya, sebagaimana
termaktub dalam Pasal 25 DUHAM. Dengan demikian dapat ditarik benang merah,
sudah menjadi keniscayaan bagi kelompok LGBT untuk mendapatkan hak-hak asasi
mereka berupa jaminan perawatan atau pengobatan terhadap penyakit LGBT
tersebut. Bukan HAM dalam pengakuan atau melegalkan terhadap orientasi seksual
mereka yang menyimpang.
Perspektif
dalam Psikologi mengenai LGBT
LGBT dapat disembuhkan dengan terapi psikologis untuk mereka yang terpengaruh karena lingkungan dan terapi hormonal di rumah sakit untuk mereka yang mengalami karena faktor hormon. Tika mengatakan perilaku LGBT lebih banyak terjadi karena salah bergaul dan kebiasaan daripada masalah hormon.
Kesimpulan
Fenomena LGBT di Indonesia dibedakan kepada dua entitas. Pertama: LGBT sebagai penyakit yang dimiliki seseorang sebagai individu, disebabkan oleh faktor medis (biologis/ genetik) dan faktor sosiologis atau lingkungan. Adapun entitas kedua: LGBT sebagai sebuah komunitas atau organisasi yang memiliki gerakan dan aktivitas (penyimpangan perilaku seksual). Perspektif hukum Islam dan HAM terhadap LGBT pada level entitas pertama, mereka harus dilindungi dan ditolong untuk diobati. Dari perspektif psikologi, ada dua cara penyembuhan LGBT, yaitu terapi hormonal di rumah sakit untuk mereka yang mengalami karena faktor hormon (biologi/medis) dan terapi psikologis untuk mereka yang terpengaruh karena faktor lingkungan.
Sedangkan terhadap LGBT pada level entitas kedua, menurut hukum Islam dan HAM, gerakan LGBT harus dilarang dan diberi hukuman berupa hukuman ta’zīr (hukuman yang ditentukan oleh pemerintah). Dari keterangan di atas jelas, bahwa saya kontra, bukan dari pelaku LGBT tersebut, tetapi dari sebuah gerakannya yang di mana dapat membawa perubahan sosial ke arah yang lebhh buruk bagi generasi mendatang, jangan kali saja keluarga kita pun nanti bisa mengidap LGBT, dan itu sangat berat, selain dari sanksi sosial, juga pengaruh terhadap relasi harmonis antar anggota keluarga, juga karena kecemasan dan ketakutan dari meningkatnya tren yang bisa jadi, berdampak pula terhadap meningkatnya penyakit biologis yang akan menggerogoti sel-sel dalam tubuh sosial.
Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR RI, segera menyusun peraturan perundang-undangan yang mengatur aktivitas dan gerakan LGBT, untuk mencegah meluasnya penyimpangan orientasi seksual di masyarakat dengan melakukan layanan rehabilitasi bagi pelaku dan disertai dengan penegakan hukum yang keras dan tegas.