Konflik Rohingya: Salah Siapa?

 

                    sumber: https://justiceinconflict.org/

Oleh: Muhammad Ariel Badrul Fallah, Peserta Didik SMAN 34 Jakarta

     Perbedaan dan keberagaman yang berkaitan dengan suku, etnis, ras, dan agama memang menjadi anugerah bagi suatu negara. Namun, di sisi lain, perbedaan-perbedaan tersebut merupakan masalah yang sangat sensitif, rancu, dan mudah menyulut konflik-konflik terbuka dengan intensitas tinggi, bahkan sampai memakan korban jiwa. Seperti konflik yang terjadi di Myanmar, antara yang beragama islam (Rohingya) dengan agama Buddha, yang merupakan mayoritas di sana.


Rohingya tidak dianggap sebagai bagian dari 135 etnis yang diakui negara, karena dianggap warga Bangladesh. Myanmar beranggapan Rohingya tidak memenuhi syarat undang-undang kewarganegaraan di tahun 1982 yang mengharuskan sebuah etnis menetap di negara itu sejak sebelum tahun 1823. Tapi, Bangladesh juga tidak mengakui Rohingya. Oleh karena itu, konflik sosial dan kekerasan terhadap kaum Rohingya mulai berlangsung secara sistematis.


Konflik antara kaum Rohingya dan Rakhine memiliki sejarah yang cukup panjang, di mana sekitar tahun 1200-1300 M kaum muslim mulai masuk ke Arakan. Dan pada 1440 M Arakan resmi menjadi Negara muslim akibat dari penjanjian Yandabo, dan Arakan, Burma, Tenasserim masuk ke wilayah British-India. Pada tahun 1748, Raja Boddaw menginvasi Arakan, lalu pecahlah perang Anglo-Burma. Pada tahun 1935, Burma dipisahkan dari Bristish-India, dan Arakan terkena imbasnya Karena harus tergabung dalam bagian Bristish-Burma. Padahal, keinginan pendudukanya adalah bergabung dengan India (British-India), dan Arakan menjadi bagian dari Burma yang merdeka pada 1937, sehingga kaum muslim yang masih terjebak di Arakan dianggap sebagai “kaum asing”.


Merambatlah pada 1982, kaum muslim rohingya tidak diakui sebagai bagian dari 135 etnis di Myanmar, banyak kaum rohingya yang ditekan dan akhirnya lari ke Bangladesh. Pada tahun 1990, terjadi repatriasi besar-besaran oleh Bangladesh untuk menolak dan memulangkan paksa kaum rohingya yang melarikan diri kembali ke Myanmar.


Berlanjut pada tahun 2000-2001, etnis Rohingya mendapatkan situasi perlakuan diskriminatif berskala besar. Kebijakan deskriminatif banyak penggusuran tanah, pergusuran 28 masjid, dan sekolah-sekolah Islam juga ikut digusur.


Kemudian, tahun 2012 pertikaian Kaum Rohingya dengan Kaum Rakhine memanas, dan kemunculan semacam organisasi/oknum bernama Rohingya Elimination Group yang bertujuan untuk menyingkirkan dan menghapuskan rohingya dari muka bumi. Organisasi ini didalangi oleh sekelompok ekstremis. Tindakan dari kelompok ini seperti menculik ribuan kaum rohingya untuk ditempatkan pada samacam kamp-kamp konsentrasi, sekitar 140.000 orang diculik dan 200 diantaranya meninggal dunia.


Ketegangan antara kaum Rakhine dan Rohingya kebanyakan disebabkan karena konflik-konflik internal yang terjadi di lingkungan anatara kedua kaum tersebut. Kaum Rakhine beranggapan bahwa, rohingya adalah musuh atau ancaman tambahan yang dapat membahayakan. Selain itu, rakyat Rakhine juga merasa tersaingi oleh kaum rohingya dalam mencari pekerjaan atau mendirikan usaha. Diskriminasi yang timbul bukan itu saja, Masyarakat Rohingya juga sulit untuk membuat KTP  dan bahkan banyak yang tidak punya sama sekali,  ini semakin mempersulit kaum Rohingya untuk mendapat berbagai akses fasilitas dan pekerjaan yang layak di Myanmar. Dengan tidak adanya pengakuan dari pemerintah Myanmar, mereka kesulitan memperoleh akses kesehatan, pendidikan, dan perumahan yang layak.


Contoh kasus yang cukup kontroversial adalah kasus pemerkosaan Ma Thida Htwe. Gadis tersebut berusia 27 tahun yang diduga diperkosa oleh 3 orang yang berasal dari kaum rohingya. Ini menyebabkan adanya penahanan ketiga orang tersebut oleh aparat kepolisian rakhine. Namun, karena proses investigasi yang tidak transparan membuat kaum rohingya juga tersulut amarah emosi dan curiga, dan lagi-lagi terjadi konflik antara kedua kaum tersebut. Konflik ini menyebabkan puluhan ribu orang tewas di kedua pihak, dan ratusan ribu kaum Rohingya melarikan diri.


Pada tahun 2013, warga-warga rohingya yang semakin tertekan mulai mengungsi dan berpindah ke negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Indonesia, Thailand. Dalam jumlah dan skala yang cukup besar. Dan berangsur-angsur.


Bahkan, pada tahun 2015 terjadi krisis kapal pengungsi di laut Andaman. Kapal-kapal yang berisikan pengungsi dari kaum rohingya terapung di laut dalam waktu yang lama untuk melarikan diri dari Myanmar. Para pengungsi yang kabur tidak membawa persediaan yang cukup dan banyak yang mati di kapal, jasadnya pun dibuang ke laut. Diperkirakan sejak tahun 2012-2015 ada 150.000 pengungsi yang melarikan diri dari Myanmar.


Selain dari konflik internal, politik pun juga ikut menjadi salah satu upaya dalam pemusnahan kaum Rohingya. Pada tahun 2017, militer Myanmar melakukan upaya pembersihan etnis Rohingya. Dalam peristiwa tersebut, militer Myanmar melakukan tindakan pengusiran paksa etnis Rohingnya dari provinsi Rakhine. Pembunuhan dan pertumpahan darah terjadi di mana-mana. Pada September 2017, sudah tercatat sekitar 400 Orang Dari kaum Rohingya Tewas, dan ribuan orang terus melarikn diri ke negara lain.


Kasus Rohingya ini mendapat perhatian dari raksasa organisasi perkumpulan dunia PBB. PBB ikut mengambil peran dalam upaya penyelesaian krisis Rohingya. PBB mengungkapkan bahwa tindakan militer Myanmar merupakan aksi pemberantasan etnik yang melanggar kemanusiaan. Dalam pidato di Dewan Keamanan di New York, Hari Kamis (28/09), Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mengatakan pihaknya menerima kesaksian warga Rohingya yang menjadi korban kekerasan luar biasa, termasuk ditembaki dengan membabi buta, menjadi korban ranjau darat, dan serangan seksual.


Guterres mendesak pemerintah Myanmar mengakhiri operasi militer dan membolehkan akses tak terbatas untuk menyaluran bantuan kemanusiaan agar warga Rohingya bisa kembali ke Rakhine dengan selamat. Namun, pemerintah Myanmar malah seperti acuh tak acuh, lebih menghindari nasihat dan usulan- usulan dari luar karena mereka beranggapan bahwa ini adalah kasus interval di Myanmar dan tidak menjadi campur tangan organisasi dan negara-negara di dunia. Bahkan, pemerintah militer juga menjadi dalang dari titik-titik percikan api panas antara pertikaian dan penindasan kaum Rohingya.


Pemerintah Myanmar dapat menjadi pihak konsiliator untuk menyelasaikan masalah, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Ini tentu akan berujung pada kehancuran negara itu sendiri dan pemerintahannya, karena warganya terus konflik satu sama lain. Tak menutup kemungkinan jika warga Myanmar suatu saat nanti juga akan konflik dengan pemerintahannya yang terkesan tidak peduli pada warganya.


Jadi, dari data dan penjelasan tersebut, seharusnya masyarakat dari bebagai etnis yang tinggal di Myanmar meningkatkan toleransi dan menjunjung tinggi perbedaan, bukan memperburuk keadaan dengan pertikaian tanpa penyelesaian yang berujung memakan korban. Pemerintah Myanmar harus lebih bertanggung jawab dengan konflik yang terjadi di negaranya dengan mencari solusi yang tepat, bukan ikut memprovokasi dan mendiskriminasi kaum (ras) minoritas. Konflik Rohingya ini mengajarkan kita bahwa sebegitu pentingnya toleransi sosial dan peran tanggung jawab pemerintah untuk menciptakan kehidupan yang tertib dan damai, semoga konflik sosial ini cepat selesai dan tidak terjadi lagi di waktu yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

 

Karya Ilmiah

Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Jember (UNEJ). (2013). Faktor-faktor Penyebab Konflik Etnis Rakhine dan Rohingya di Myanmar Tahun 2012. (Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa UNEJ 2013). Diakses dari https://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/58723/Alfi%20Revolusi.pdf?sequence=1&isAllowed=y


Kurniawan, N. (2017). Kasus Rohingya dan Tanggung Jawab Negara dalam Penegakan Hak Asasi Manusia. Diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/229111-kasus-rohingya-dan-tanggung-jawab-negara-f55bc391.pdf

 

Internet / Web

Kusuma T. S. dan Ramadhian Fadillah. (2016). Apa Sebenarnya Penyebab Myanmar Menindas Muslim Rohingya?. Diakes pada 20 April 2021, dari https://www.merdeka.com/dunia/apa-sebenarnya-penyebab-myanmar-menindas-muslim-rohingya.html


Prabowo G. dan Serafica Gischa. (2020). Krisis Rohingya di Myanmar. Diakses pada 21 Maret 2021, dari https://www.kompas.com/skola/read/2020/12/03/130323969/krisis-rohingya-di-myanmar#:~:text=Latar%20belakang%20konflik&text=Berikut%20beberapa%20latar%20belakang%20krisis%20Rohingya%20di%20Myanmar%3A&text=Etnis%20Rohingya%20dianggap%20sebagai%20imigran,etnis%20Rakhine%20terhadap%20etnis%20Rohingya


ACT.ID. (2017). Indonesia Selamatkan Rohingya. Diakses pada 18 April 2021, dari https://act.id/rohingya/#:~:text=2012%3A%20Muncul%20gerakan%20Rohingya%20Elimination,kamp%20konsentrasi%2C%20200%20orang%20tewas.


Astuti F. N. (2021). Penyebab Konflik Rohingya di Myanmar Beikut Penjelasannya. Diakses pada 22 Maret 2021, dari https://www.merdeka.com/jabar/penyebab-konflik-rohingya-di-myanmar-berikut-penjelasannya-kln.html?page=1


BBC. (2017). PBB: Perlakuan terhadap warga Muslim Rohingya 'mimpi buruk kemanusiaan'. Diakses pada 18 Maret 2021, dari https://www.bbc.com/indonesia/dunia-41436289


BBC. (2020). Genosida Muslim Rohingya di Myanmar: Mahkamah Internasional perintahkan upaya pencegahan. Diakses pada 19 Maret 2021, dari https://www.bbc.com/indonesia/dunia-51219018

Konflik Rohingya: Salah Siapa?