Apa Itu Filsafat?

 

sumber: Scuola di Atene, karya Raffaello Sanzio  (1483–1520)

oleh: Alamsyah Taufik, seorang manusia yang teguh kepercayaan dan keyakinannya kepada cinta, bukan kepada negara

    Ketika mengajar, acapkali saya menyelipkan mengenai metode kritis tentang materi yang akan dibahas dalam ruang kelas.  Artinya, saya lebih dulu menunda segala macam mengenai kebenaran yang ada dalam teks, dengan memunculkan sebuah pertanyaan-pertanyaan, dan lalu saya menjawabnya dengan sebuah pertanyaan-pertanyaan berikutnya, dan itu biasanya tertuang di sebuah “prolog” sebelum menuju inti materi pembelajaran. Terkadang, saat di tengah aktivitas mengajar, ada saja muncul celetukan “Bapak alumni filsafat, ya?” Lalu diikuti dengan “Gaya ngomong bapak seperti anak filsafat”.


Sejauh saya mengajar, tak jarang, sebuah pertanyaan mengenai filsafat dilontarkan kepada saya seperti, “Pak, apa sih itu filsafat?” atau “Untuk apa sih Pak, filsafat?” Biasanya, saya sedikit tertegun, sebab mencari akal untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tidak selesai sampai di situ, juga saya mendapati komentar-komentar mereka mengenai filsafat seperti, “Filsafat itu orang yang jago ngomong, ya?” Atau “Filsafat itu gak punya agama, ya?” Yang membuat saya sedikit tercengang juga memaklumi adalah, “Filsafat itukan haram, bukan?” Dan, sebagainya dan sebagainya.


Baiklah, pada kesempatan kali ini saya akan menjawabnya mengenai pertanyaan-pertanyaan di atas seputar filsafat. Saya mengambil jawabannya hampir sebagian besar dari filsuf Indonesia, yang juga seorang penulis filsafat juga sekarang aktif di dalam perdebatan sastra, Martin Suryajaya.


Filsafat dan filsuf bagai sebuah mata uang yang tak akan pernah dapat dipisahkan. Nama filsafat dan filsuf juga sama-sama berasal dari kata Yunani yaitu philosophia dan philosophos. Menurut bentuk kata, seorang philo-sophos adalah seorang pencinta kebijaksanaan. Ada tradisi kuno yang mengatakan, bahwa nama filsuf  (philosophos) untuk pertama kalinya dalam sejarah dipergunakan oleh Pythagoras (abad ke-6 SM). Tetapi, kesaksian sejarah tentang kehidupan dan aktivitas Pythagoras demikian tercampur dengan legenda-legenda sehingga kebanyakan sekali kebenaran tidak dapat dibedakan dengan sebuah rekaan belaka.


Demikian halnya juga dengan hikayat yang mengisahkan bahwa nama “filsuf” ditemukan oleh Pythagoras. Yang pasti ialah bahwa dalam kalangan Socrates dan Plato (abad ke-5 SM), nama “filsafat” dan “filsuf” sudah lazim dipakai. Dalam dialog Plato yang berjudul Phaidros misalnya, kita membaca: Nama “orang bijaksana” terlalu luhur untuk memanggil seorang manusia dan lebih cocok untuk Tuhan. Lebih baik ia dipanggil philosophos, pecinta kebijaksanaan. Nama ini lebih berpautan dengan makhluk insani. (Sejarah Filsafat Yunani, Dr. K. Bertens, 1975).


Itulah pengertian filsafat secara etimologi dan harfiah. Sekarang, kita mencoba masuk ke dalam sebuah epistemologi dan lebih subtantif lagi mengenai filsafat. Langkah pertama, adalah dengan mengajukan sebuah pertanyaan, “Apa itu filsafat?” Yang seperti kita ketahui, bahwasanya filsafat bagi saya dan orang-orang awam lainnya adalah, ilmu yang tidak jelas, tidak pasti, mengawang-ngawang, dan selalu membuat otak kita ini berputar, tersesat di sebuah labirin, dan bisa jadi kita tidak akan pernah bisa keluar darinya.


Menurut Martin Suryajaya, ia tidak menampik terhadap stigma atau imajinasi pikiran masyarakat, bahwasanya, filsafat adalah menyeramkan, abstrak, sulit sekali untuk dipahami, dan bahkan jauh dari akar kenyataan. Akan tetapi, ia meluruskan, bahwasanya filsafat adalah salah satu upaya untuk mencari pertanyaan lebih dari pada upaya untuk mencari jawaban. Dalam sebuah literatur yang sering dijumpai, filsafat itu biasanya digambarkan dengan sebagai ilmu yang mencari kebijaksanaan, atau yang biasa disebut sophia dalam bahasa Yunani, atau wisdom dalam bahasa Inggris.


Pada dasarnya, kebijaksaan itu bukan tujuan utama dari filsafat sebenarnya, karena filsafat adalah usaha mencari pertanyaan. Di dunia ini banyak sekali ilmu dan pengetahuan, pelbagai macam cabang sains, humaniora, sastra, budaya, dan lainnya yang menampilkan kebijaksanaannya masing-masing dan berbeda-beda pula. Filsafat tidak ikut memperbanyak kebijaksanaan seperti itu. Sebab, sudah terlalu banyak, dan juga ditambah lagi dengan pengalaman-pengalaman kita sedari kecil sampai kehidupan yang kita jalani sehari-hari kini. Jadi, kebijaksanaan bukan hal asing bagi kita. Apa yang dicari filsafat sebenarnya, “pertanyaan”. Pertanyaan seperti apa? Pertanyaan yang sebetulnya mengungkapkan permasalahan yang tidak terjawab di dalam kenyataan kita sehari-hari.


Kita tahu, kita akan bijaksana bila kita mendahulukan kepentingan orang lain. Tetapi, mengapa harus mendahulukan kepentingan orang lain? Kita juga sering mendengar dalam hidup kita, “Mengapa hidup harus hemat?” Harus menabung, harus giat bekerja, dan seterusnya. Tetapi, mengapa harus bekerja, mengapa harus menabung? Hal-hal itu yang pada dasanya dipertanyakan oleh filsafat. Filsafat tidak puas dengan pelbagai macam bentuk kebijaksaan yang sifatnya menenangkan diri itu. Filsafat ingin mencoba menggali lebih jauh, “Mengapa semua ini demikian adanya?” Itu adalah pertanyaan yang muncul dari benak orang yang belajar filsafat.


Pertanyaan itu bukanlah suatu upaya untuk mencari kebijaksaan baru yang sama halnya kebijaksanaan yang ditawarkan oleh masyarakat. Tetapi, sebenarnya adalah pertanyaan tentang “struktur dasar dari kenyataan ini”. “Aturan mainnya seperti apa” Itulah yang ditanyakan oleh para filsuf. Misalnya, seorang filsuf Immanuel Kant bertanya, “Bagaimana kita mengetahui sesuatu?” Yang dia cari bukanlah kebijaksanaan yang diajarkan oleh orangtua kita, atau masyarakat kita, tetapi suatu pertanyaan yang membawa kita berpikir dan mencapai suatu kesimpulan apapun itu, asalkan kesimpulan itu didapat sengan suatu usaha untuk “menghabiskan semua pertanyaan yang mungkin”. Dan, ini adalah penting di dalam filsafat.


Kita tidak cukup bertanya, lalu menjawab. Yang harus diusahakan adalah menggali segala macam dimensi dari pertanyaan kita. Bagaimana kalau kita menanyakan, “Bagaimana pengetahuan itu mungkin?”  Dan, orang pasti akan menjawab “Ya, itu mungkin karena kita mempunyai pengalaman” Misalnya. Lalu, filsuf akan bertanya lebih lanjut, “Lalu, apa itu pengalaman dan bagaimana pengalaman itu mungkin?” Lalu, orang lain akan menjawabnya misalnya, “Bahwa pengalaman itu didapat dari hasil suatu pencerapan inderawi  dari suatu sensasi yang didapat ketika panca indera kita sedang bekerja.” Sang filsuf akan kembali bertanya, “Dari mana asalnya panca indera kita? Kenapa kita bisa mengandalkan kesimpulan kita pada apa yang didapat dari panca indera itu? Sejauh apa itu dapat diandalkan?” Nah, pertanyaan itu akan terus menggiring kita mencari “akar yang tidak bisa tergoyahkan”.


Nah, filsuf sangat suka sekali dengan akar yang tidak bisa tergoyahkan lagi.  Sampai sekarang, tentu saja akar itu tidak ditemukan. Apa yang menjadi dasar dari segala macam asumsi atau argumen filsafat,  itu pada dasarnya kalau kita gali adalah sebuah pertanyaan. Tidak pernah kita sampai pada kesimpulan yang sifatnya “terakhir” yang sifatnya bisa menjawab persoalan secara “utuh”.


Ini yang membuat filsafat menarik, sebab filsafat bukan menawarkan jawaban tetapi menawarkan pertanyaan, atau lebih tepatnya “cara bertanya”.  Tentu, tidak ada cara bertanya yang salah dan benar, kita bisa menanyakan dengan cara apapun. Tetapi, filsuf dengan keseriusan dan intensitas kegairahan serta hasrat yang tak tertahankan untuk terus bertanya. Inilah yang membuat perbedaan antara filsuf dan masyarakat biasa. Ketika para filsuf bertanya, apa yang mereka cari sebetulnya bukanlah sebuah jawaban, mereka mencari “sejauh mana pertanyaan ini bisa terus tidak terjawab” Di mana batas-batas dari keterjawaban pertanyaan ini? itulah yang filsuf cari.


Dalam taraf yang lebih abstrak, bahkan filsuf mempertanyakan,  “Apakah hakikat dari segala sesuatu yang ada ini?” Mereka bahkan beranjak lebih jauh lagi dari itu, mempertanyakan hakikat dari segala sesuatu entah itu “ada” “tidak ada” “mungkin ada” “mungkin tidak ada” atau “tidak mungkin sama sekali”. Segala macam “kemungkinan” ini menarik bagi filsafat. Justru, karena sifatnya yang umum ini, filsafat itu harus jalan menuju seluruh “ilmu pengetahuan”. Separuh jalan menuju matematika, separuh jalan menuju ilmu biologi, separuh jalan ilmu sosiologi, ekonomi, dan seterusnya.


Keumuman dari filsafat ini, sebetulnya bisa lebih mudah kita mengerti ketika kita melihatnya dalam konteks sejarah. Filsafat dilahirkan jauh sebelum ilmu-ilmu khusus berkembang. Jauh sebelum ilmu fisika, sosial, humaniora, jauh sebelum itu semua  “ada filsafat”. Jadi, filsafat bagian dari manusia yang paling awal. Ketika manusia belum bisa membedakan gejala fisika atau kimia, filsafat sudah mengajukan tentang itu. Atau pertanyaan, “Apa yang membedakan manusia dengan binatang?” Filsafatlah yang dulu menanyakan tentang itu. Filsafat mendahului ilmu-ilmu.

 

Bahkan, dari filsafat itulah lahir dan berkembang  ilmu dan pengetahuan yang kita kenali dewasa ini. Filsafat memainkan peran sebagai pendobrak. Ketika belum ada ilmu-ilmu yang mempertanyakan segala sesuatu, munculah filsafat dengan pertanyaanya, dan dari situlah lahir ilmu-ilmu.*


Kira-kira, begitulah mengenai dasar dari filsafat. Jadi, apakah Anda tertarik menggeluti ilmu filsafat? Atau apakah kalian ingin menjadi filsuf? Atau jangan-jangan, Anda sudah menjadi fulsuf?


*sebagian besar materi saya ambil dari konten Martin Suryajaya. Anda bisa menontonya di kanal youtube beliau https://youtu.be/wrRW0W4XSsE

Apa Itu Filsafat?