Sumber: https://foto.tempo.co/
Syiah menurut
bahasa adalah golongan. Ketika terjadi konflik antara golongan Ali dengan
golongan Muawiyah, konflik itu berakhir dengan at-Tahkim (arbitrasi). Namun, semuanya telah gagal.
Sejumlah pasukan Ali yang keluar disebut khawarij, sedangkan yang bertahan
disebut Syiah Ali (golongan
Ali). Perbedaannya hanya sekadar
dukungan politik, tidak ada perbedaan dalam hal aqidah karena Imam Ali
menyatakan sendiri keutamaan Abu Bakar dan Umar Ketika ia ditanya tentang itu.
Dari Muhammad
bin Al-Hanafiyyah, ia berkata, “Saya katakan kepada Bapak saya, ‘Siapakah
manusia yang lebih baik setelah Rasulullah?’
Ali
menjawab, ‘Abu Bakar’. Saya katakan, ‘Kemudian siapa?’ Ali menjawab, ’Umar’. Saya khawatir
ia menyebut Utsman. Saya katakan, ‘Lalu engkau?’ Ali menjawab, ‘Aku
hanyalah salah seorang dari kaum muslimin’.”
(HR.
al-Bukhari).
PERKEMBANGAN
SYIAH SETELAH ALI WAFAT
Setelah Imam Ali
wafat, Syiah terpecah menjadi beberapa kelompok:
Pertama,
kelompok yang berkeyakinan bahwa Imam Ali tidak wafat, melainkan tetap hidup
untuk menegakkan keadilan dunia. Embrio kelompok ini telah ada ketika Imam Ali
masih hidup, berkembang setelah Imam Ali wafat.
Kedua,
kelompok yang berpendapat bahwa setelah Imam Ali wafat, penggantinya adalah
Muhammad bin Al-Hanafiyyah, karena ia dipercaya membawa panji Imam Ali dalam
peperangan di Bashrah. Mereka mengkafirkan semua orang yang menolak keimaman
Imam Ali dan orang-orang yang memerangi Imam Ali saat perang Jamal dan perang
Shiffin.
Ketiga,
kelompok yang meyakini bahwa setelah Imam Ali wafat, keimaman berpindah ke
al-Hasan. Setelah al-Hasan menyerahkan khilafah kepada Muawiyah, maka keimaman berpindah
ke al-Husain. Namun,
sebagian mereka juga tidak sependapat, sebagian mereka berpendapat bahwa
setelah al-Hasan, keimaman berpindah ke al-Hasan bin al-Hasan yang bergelah
ar-Ridha.
Keempat,
Syiah Rafidhah, Imam Syafii mendefinisikan Rafidhah sebagai orang-orang yang
mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar bukan imam (khalifah), maka dia
adalah Syiah Rafidhah. Syiah Rafidhah disebut juga Syiah dua belas Imam, karena
mereka meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW
telah
menuliskan keimaman secara teks.
PERBEDAAN
PADA USHUL (DASAR)
Perbedaan dalam
masalah furu adalah suatu kewajaran. Namun,
perbedaam dengan Syiah adalah perbedaan pada masalah ushul (dasar). Ini dapat
dilihat dalam teks-teks klasik Syiah:
Allah
SWT menurut Syiah
Kami (Syiah) tidak mungkin
bersama dengan Sunni dalam satu tuhan, satu nabi, dan satu imam. Karena Sunni
mengatakan bahwa tuhan mereka adalah Muhammad nabi-Nya dan Abu Bakar adalah
khalifah setelahnya. Sedangkan kami (Syiah) tidak mengakui tuhan itu dan nabi
itu. Bahkan kami (syiah) katakan,
bahwa tuhan yang khalifah nabi-Nya adalah Abu Bakar, bukanlah tuhan kami
(syiah) dan nabi itu juga bukan nabi kami (syiah).
Al-Quran
menurut Syiah
Dari Abu Jafar,
ia berkata, “Siapa yang menyatakan bahwa seorang dari manusia mengumpulkan
seluruh al-Quran sebagaimana yang telah diturunkan, maka ia adalah pendusta.
Tidak ada yang mengumpulkan al-Quran dan menjaga sebagaimana yang diturunkan
Allah kecuali Ali bin Abi Thalib dan para imam setelahnya”
Ayat
sempurna menurut Kitab al-Kafi atau kitab Syiah
Allah SWT berfirman dalam surah
al-Ahzab ayat 71, “Siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sungguh ia telah
menang dengan kemenangan yang besar”. Namun,
menurut kitab al-Kafi, ayat yang sempurna adalah, “Siapa yang taat kepada Allah
dan Rasul-Nya dalam hal kekuasaan Ali dan kekuasaan para imam setelahnya,
sungguh ia telah menang dengan kemenangan yang besar”.
Para
imam ma’shum menurut Syiah
Dalam kitab
al-Kafi ada satu bab berjudul, ‘Para imam mengetahui apa yang telah terjadi,
apa yang sedang,
dan akan terjadi, tidak ada yang tersembunyi bagi para imam walau sedikit pun’.
Kemudian al-Kulaini memuat satu riwayat dari Imam al-Husain, dari Abu Abdillah,
ia berkata, “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang di langit dan di bumi, aku
mengetahui apa yang ada di surga dan neraka. Aku mengetahui apa yang telah
terjadi, apa yang sedang, dan akan terjadi. Melihat kedudukan al-Kafi yang begitu
tinggi dalam Syiah, tidak mengherankan jika riwayat ini memberikan fanatisme yang luar biasa
terhadap para imam, karena para imam memiliki kuasa tanpa batas.
Kebencian
kepada Khalifah Abu Bakar
Dari Abdusshamad
bin Basyir, dari Abu Abdillah, dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW diracun oleh oleh
Aisyah dan Hafshah dan dikatakan dalam kitab al-Kafi tersebut bahwa Aisyah dan
Hafshah beserta Bapaknya yaitu Abu Bakar dan Umar adalah seburuk-buruk makhluk.
Syiah
menyatakan bahwa penduduk Mekkah adalah kafir
kepada Allah secara nyata dan penduduk Madinah lebih kotor dari penduduk Mekkah
tujuh puluh kali lipat.
Syiah
menyatakan bahwa sahabat setelah nabi wafat adalah kafir
kecuali tiga orang, yaitu: al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari dan
Salman al-Farisi.
Syiah membolehkan nikah Mut’ah, sebagaimana Abu
Abdillah berkata, “ Menikah mut’ahlah walaupun seribu orang, karena
sesungguhnnya mereka itu para wanita yang telah diberi upah”. Nikah Mut’ah
jelas haram dalam ahlussunnah wal jamaah karena nikah dalam waktu yang
ditentukan jelas tidak diperbolehkan.
Fanatisme
Syiah dari ar-Ridha, ia
berkata, “Tidak masuk dalam agama Islam yaitu orang-orang selain kita dan
selain Syiah kita.
Syiah
menyatakan bahwa anak Syiah tidak diganggu setan
Dari Ibrahim bin
Yahya, dari Jafar bin Muhammad, ia berkata, “Tidak ada anak yang lahir
melainkan iblis dari iblis-iblis hadir. Jika Allah mengetahui bahwa anak itu
dari golongan Syiah kita, maka Allah menghalangi anak tersebut dari setan. Jika
tidak, maka setan menusukkan jari telunjuknya di dubur anak tersebut, tempat
itu akan menjadi tempat zina...”.
Syekh
Hasyim Asyari menukil pendapat al-Qadhi ‘Iyadh dalam
asy-Syifa tentang penjelasan kelompok-kelompok yang dipastikan kekafirannya di
antara umat Islam. Dalam al-Anwar disebutkan, “Dipastikan kekafirannya ; semua
orang yang mengatakan suatu kalimat yang menyesatkan umat, mengkafirkan
sahabat, dan setiap orang yang melakukan sesuatu perbuatan yang hanya dilakukan
oleh orang kafir seperti sujud ke salib atau menyembah api.”
Buya
Hamka juga berpendapat bahwa kita di
Indonesia adalah golongan Sunni. Jelasnya ialah dalam menegakkan aqidah, kita
menganut paham Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshu al-Maturidi. Di dalam
amalan syariat kita pengikut mazhab Syafi’i dan menghargai ajaran tiga imam
mazhab lain. Buya Hamka menjelaskan pendiriannya sehubungan dengan revolusi
Iran:
1. Sesuai pembukaan UUD RI, Buya Hamka bersimpati atas
revolusi Iran karena mereka
menentang
feodalisme Kerajaan Syah yang tidak adil.
2. Karena revolusinya berdasarkan mazhab Syiah, maka
tidak berhak mencampuri urusan dalam negeri orang lain, dan Buya Hamka tetap
teguh bawa beliau adala seorang sunni
Teks yang
terdapat dalam referensi Syiah sangat provokatif, dari masalah al-Quran, status
para imam, menanamkan fanatisme, dan
permusuhan, serta riwayat aneh yang tidak rasional. Namun, karena al-Kafi sudah
dianggap sebagai kitab suci, maka sangat berpengaruh terhadap Syiah
kontemporer. Setelah membaca kutipan dari beberapa kitab Syiah, bahkan kitab al-Kafi yang
dianggap sebagai kitab ter-shahih
diantara referensi Syiah, rasanya sulit untuk memenuhi undangan konferensi
Pendekatan Sunni-Syiah. Orang yang terjebak dalam taqrib mesti segera
bertaubat, seperti Syekh Yusuf al-Qardhawi yang pernah ikut, pada akhirnya
beliau sadar dan ia nyatakan dalam Fatawa Muashirah.
Referensi:
related desc completely
BalasHapus